Yudi Latif: RUU KPK Sebagai Evaluasi Kinerja KPK

JAKARTA – Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif mengatakan, Revisi Undang-undang Komisi Pemilihan Umum (RUU KPK) merupakan upaya evaluasi terhadap kinerja KPK. Selama ini KPK lebih menonjol pada aspek penindakan. Sementara pada aspek pencegahan nyaris tidak berjalan.

”Ternyata dengan penindakan itu tidak memiliki efek jera. Kita bisa bisa simpulkan pemberantasan korupsi tidak hanya KPK saja,” ucap Yudi kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.

Yudi mengatakan, pemberantasan korupsi tidak hanya nilai rupiah saja, tetapi juga ada tata kelola pemerintahan dan demokrasi di dalamnya.

”Tidak melulu, setiap tersangka yang sudah ditangkap kemudian hanya dieksekusi. Tetapi bagaimana masyarakat tidak ingin melakukan korupsi,” katanya.

”Harus ada konsen yang lebih makro dengan desain otonomi, desain tata ulang dan turut dalam menyederhanakan tata kelola pemilu,” imbuhnya.

Dia menegaskan, Perppu UU KPK jelas tidak ada urgensinya karena, korupsi tidak selamanya dimaknai dengan kebejatan moral. Tetapi ada tali-temali desain tata kelola demokrasi Indonesia. Salah satunya dengan desain hasil riset, bukan hanya mengadopsi dari negara lain.

“Mungkin tata kelola Hongkong efektif buat Hongkong, belum tentu efektif diterapkan di Indonesia,” ujarnya.

Terpisah, Akademisi Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan, Kusnanto Anggoro menyebutkan, ada tiga syarat kegentingan yang memaksa Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Sedangkan saat ini Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi tidak masuk dalam syarat itu. Hal tersebut menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009.

”Pertama, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara berdasarkan UU,” ujar Kusnanto, kepada wartawan di Jakarta.

Kedua, lanjutnya, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai. Kemudian ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.

”Sedangkan keadaan mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan,” terangnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Risk Studies itu menjelaskan, posisi UU KPK sendiri tidak berada dalam tiga situasi tersebut. Terutama upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhenti dengan adanya UU KPK dan tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada urgensi mengeluarkan Perppu.

Tinggalkan Balasan