Usaha Mikro jadi Penopang Perekonomian Jabar

SOREANG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat melalui Dinas Koprasi dan Usaha Kecil (KUK) Jabar meng­kalim dari sekitar 9,1 juta pelaku UMKM di Jawa Barat, 98 persen di antaranya masih terdata berstatus usaha mikro.

Kepala Dinas KUK Jabar Kusmana Hartadji mengatakan, jumlah tersebut masih berdasarkan data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2016. Namun Dinas KUK meyakini di lapangan sudah banyak usaha mikro yang sebenarnya sudah naik kelas menjadi usaha kecil bahkan menengah.

”Dari jumlah itu yang bergerak di sektor non pertanian sekitar 4,36 juta pelaku,” Katanya saat ditemui usai mem­buka peringatan hari UMKM Iternasional di Soreang Kabu­paten Bandung, belum lama ini.

Menurut Kusmana, usaha mikro tersebut justru menjadi penopang utama perekonomian masyarakat saat ini. Bahkan mereka menjadi penyumbang sekitar 54 persen produk do­mestik regional bruto Jabar. Saat ini, status usaha mikro Jabar sebenarnya hanya sebatas pendataan.

”Padahal, omset usaha mikro di Jabar sebenarnya sudah banyak yang setara dan bahkan melebihi level usaha kecil dan menengah. Karena belum tercatat dalam pembukuan, jadi tidak tercatat,” akunya.

Kusmana menjelaskan kedepan, pihaknya akan segera melakukan verifikasi ulang terkait status UMKM. Dengan begitu bisa diketahui sebenarnya berapa persentase usaha mikro saat ini dan berapa banyak yang sudah naik kelas.

”Tahun ini saja, kami menyiapkan program untuk menaikan stasus 2.500 usaha mikro menjadi usaha kecil. Selain itu kita terus memberikan pelatihan SDM dan pembukuan untuk usaha mikro lain yang sedang tumbuh,” tuturnya.

Sementara itu Koordinator International Council of Small Bussines (ICSB) Wilayah Jabar Perry Tristianto mengatakan, UMKM di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus menjadi penopang laju pertumbuhan ekonomi. Bahkan di saat krisis di mana usaha besar justru tengah dalam berbagai goncangan.

”UMKM jangan lagi berpikir untuk menitipkan produk, tetapi menjual produk. Saat ini sebagian besar pelaku UMKM rela menitipkan produk mereka untuk dijual di pasar modern dengan sistem konsinyasi. Akibatnya mereka harus menung­gu produk itu laku baru menerima hasilnya setelah proses administrasi rampung,” katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan