Toang, Lubang, dan Perempuan

“Toang, nama apakah itu?” ucapmu lucu bahkan lugu. Matamu yang mirip buah kenari muda itu berbinar-binar. Persis sorot lampu mobil di gelapan, menjangkau tempat-tempat yang terjauh. Sementara tanganmu menuntun motor yang peleknya melengkung tak keruan. Terseok-seok mendorongnya.

Namun aku tahu, bukan persoalan namanya yang membuatmu penasaran. Ada banyak perempuan cantik yang duduk-duduk manis menghadap ke jalan. Menunggu lelaki-lelaki dewasa yang hendak jajan. Sopir-sopir truk, pegawai negeri, karyawan pabrik, kuli pasar, tukang becak, bahkan bujang-bujang lapuk. Beberapa di antaranya tengah menemani lelaki yang sudah mabuk ingin bercinta berduaan bahkan berhimpunan. Sementara musik dangdut pantura, makin membuat malam yang dingin terasa ingin dipeluk dalam rengkuhannya. Barangkali dalam benakmu menganggap, toang adalah nama lokalisasi ilegal yang banyak tersebar di sepanjang jalan pantura.

“Bukan Kawan, bukan itu!”

“Tapi banyak perempuannya?”

“Ya memang demikian kelihatannya.”

Kerap keheranan itu membuat kepalaku pening. Mengapa bertebaran tempat-tempat seperti itu di toang-toang. Razia Satpol PP dan Ormas Islam setiap kali datang bulan Ramadan tak menyurutkan bisnis lendir itu. Sudah puluhan kali tempat-tempat itu dirobohkan. Tapi tak lama kemudian dibangun lagi, seakan penghancuran itu hanya untuk membangun tempat yang lebih baru. Tak jarang, justru membuatnya lebih layak dari sebelumnya. Lebih gemerlap, tidak lagi meremang.

Sementara langit masih meludah, hujan tumpah, tanah basah dan kau terus merapah. Malam dirasakan seperti sayap kelelawar, hitam menyeramkan dan membuat dada berdebar. Beberapa kali kendaraan yang melintas, membuat tubuhmu dan tubuhku tempias.

“Kita mampir di sini?” ucapmu ragu tetapi lendut matamu membuatku curiga.

“Apa boleh buat. Hari sudah malam, tak ada bengkel. Kita menunggu pagi.”

Beberapa kursi yang terbuat dari rotan dan kayu jati cukup membuat pinggang ini tak terlalu kaku. Aku memesan dua gelas kopi hitam pada seorang pelayan yang berpenampilan seperti penyanyi dangdut itu. Dan kau sekali ini sibuk melihat-lihat pelek motormu yang makin kelihatan penyok.

Tak lama, seorang perempuan berpenampilan seperti ‘dosen’ menyungging senyum. Dosen di sini artinya dongdot senior. Gincunya tebal, bahu terbuka dan belahan dada yang hampir tumpah. Ia berbisik kepada dua perempuan yang lebih muda umurnya. Kedua tersenyum, dan saling berbisik manja. Genit sekali. Rambut-rambutnya bercat merah. Wajahnya jelas dibuat cantik. Jalannya beriring seperti siap menyongsong. Aku tahu, ini akan menjadi ujian. Tetapi bukankah dulu aku ingin mengetahui lebih jauh tempat ini? dan malam ini kesempatan itu datang tanpa direncanakan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan