Teen Talk Celeng

Biarlah Kim dan Trump bertemu di Hanoi hari ini. Saya tetap pada jadwal saya: ke pedalaman Thailand. Ke Mae Sae lagi. Dekat perbatasan dengan Myanmar.

Saya masih ingat empat tahun lalu. Pertama ke wilayah ini. Yang ternyata tidak jauh dari ‘gua celeng’ itu. Yang bikin satu tim sepak bola desa itu terjebak. Di dalam gua. Akibat mulut gua kebanjiran. Oleh hujan deras yang tiada henti.

Tentu kali ini saya perlukan mampir ke gua itu. Bahkan, kalau bisa, ke lapangan sepak bola itu. Siapa tahu bisa bertemu pula. Dengan salah satu dari 12 remaja itu. Yang terjebak di gua itu tahun lalu.

Pikiran saya dipenuhi pertanyaan: apakah gua itu sudah dibuka lagi? Setelah ditutup pasca peristiwa dramatis itu? Bukankah saat itu diumumkan: lokasi ini ditutup sementara? Untuk dilakukan pembenahan total?

Bahkan saat itu diumumkan dengan gegap gempita: akan dibuatkan lingkungan baru yang keren. Pasti akan banyak turis datang ke gua itu.

Tapi saya tidak peduli. Tutup atau buka tidak ada bedanya. Saya harus ke sana. Pun seandainya buka toh tidak akan masuk ke dalamnya.

Dari Chiang Mai saya harus ke Chiang Rai dulu. Naik mobil. Tiga jam. Ke arah utara. Dari Chiang Rai masih ke utara lagi: 60 Km. Ke arah perbatasan dengan Myanmar.

Begitu tiba di Mae Sae terlihat gugusan gunung bergunung. Itulah batas negara. Di balik gunung itu sudah daratan Myanmar.

Banyak pos pemeriksaan di sepanjang jalur ini. Bukan karena tidak aman. Tapi inilah wilayah basis opium.

Di sisi Thailand perkebunan opiumnya sudah tidak ada. Sudah diubah menjadi kebun holtikuktura. Keluarga kerajaan mendirikan yayasan khusus. Untuk memerangi opium perbatasan itu. Dengan cara: mensejahterakan rakyat di situ. Agar tidak lagi menanam opium.

Empat tahun lalu dimulai.

Saya melihat semua itu. Dari awal. Bagaimana rakyat berubah. Bagaimana keluarga kerajaan all out. Bagaimana opium punah di pegunungan Thailand. Yang dulu dikenal sebagai segitiga perdagangan opium dunia.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan