Publik Harus Bisa Bedakan Hasil Survei Kajian Akademis Atau Rekayasa

Hasil lembaga survei mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden yang unggul belum menjamin akan menang dalam pemilihan presiden Pilpres 2019. Terlebih, banyak yang menyudutkan bahwa hasil survei merupakan titipan dan rekayasa.

BUDIYANTO- Jakarta

Direktur Program Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) Sirajudin Abbas, mengatakan, topik hasil survei rekayasa selalu muncul dalam situasi kampanye yang hangat seperti saat ini. Menurutnya hal ini penting agar publik bisa membedakan mana kajian akademik yang bisa dipertanggung jawabkan serta kajian yang tidak didasarkan pada disiplin akademik yang baik.

“Cerita seperti ini bukan yang hal yang baru, jika dilihat lima tahu lalu, tepatnya (dua) bulan menjelang pileg dan pilpres, banyak sekali laporan olah lembaga-lembaga yang disebut dirinya lembaga survei politik dengan menyajikan sejumlah data yang cukup ekstrim,” terangnya,” terangya dalam diskusi bertema “Realita atau Rekayasa”, di Media Center DPR, Kamis (21/3).

Saat itu, sambung Sirajudin, ada yang menyampaikan informasi bahwa pasangan Prabowo menang dan Jokowi kalah. Hingga saat Quick Count menjadi skandal yang cukup serius, karena beberapa lembaga survei mengumumkan hasil Quick Count yang mengumumkan pasangan Prabowo-Hatta. Namun yang lain lebih banyak mengumumkan hasil Quick Count yang menunjukkan kemenangan Jokowi -JK.

“Sempat dicap skandal dan memaksa asosiasiasi lembaga survei ada salah satunya himpunan survei opini Publik mengaudit lembaga survei yang menyelenggarakan Quick Count, terutama khusus anggota saja. Dan dari cara itu tidak menemukan memang ada banyak kecurangan yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, ada yang seperti audit dan ada juga yang mengundurkan diri sebelum diaudit, intinya menghindari audit itu,” tambahnya.

Kendati demikian, pada akhirnya terbukti dengan laporan penghitungan resmi dari KPU bahwa lembaga survei yang memenangkan Jokowi-JK menang saat itu hasil penghitunganya terlihat sangat dekat dengan hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Kesimpulannya, rata-rata kesalahannya dibawah 0,1%, jadi ini nggak sampai setengah persen selisih. Itu artinya beberapa lembaga di Indonesia saat ini sebetulnya sudah cukup disiplin tradisi keilmuannya,” terang Sirajudin.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan