Polemik Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Dari sisi eksternal, ditengarai adanya permasalahan sisi internal seperti manajemen dan efisiensi dana operasi. Dari sisi eksternal, ditengarai adanya permasalahan hubungan antara BPJS dengan penyedia fasilitas kesehatan terkait, kasusnya adalah sistem klaim dan proses verifikasi serta iuran kepesertaan. Selain mengaudit internal BPJS, BPKP juga diminta untuk mengaudit hingga ke seluruh penyedia layanan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS.

Menurut Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selaku tim audit sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan serta beberapa sumber terkait, terdapat beberapa temuan penyebab adanya permasalahan defisit pada BPJS Kesehatan.

Meninjau adanya peluang penurunan tingkat kepatuhan membayar oleh masyarakat, Koordinator ISU Ekonomi Makro FMEB dan ketua BEM KEMA FPEB, Muhammad Zeinny, menyatakan tidak setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS berbagai kelas dengan kisaran 100% Kenaikan dari iuran sebelumnya.

Ditambah kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk golongan I dan II akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini merupakan implikasi dari adanya kenaikan iuran yang tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan masyarakat.

BPJS Kesehatan harus mencari alternatif solusi dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, salah satunya melalui pengoptimalan dana subsidi yang alokasinya dinilai kurang produktif dalam menutupi defisit anggaran.

Perlu di perhatikan juga bahwa pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena defisit yang terjadi disinyalir berasal dari adanya dana yang dikorupsi, salah satu yang disebut adalah penyimpangan dan indikasi korupsi yang dilakukan pihak BPJS dan rumah sakit provider.

Konsultan Data Indonesia, Herry Gunawan, menilai kenaikan iuran BPJSK akan berpotensi menambah jumlah orang miskin di Indonesia. Hal ini menyangkut penduduk miskin yang tidak terakomodasi bantuan sosial (PBI), tetapi harus membayar iuran sendiri (Mandiri golongan III).

Proporsi 40 persen kelompok masyarakat berpenghasilan terendah yang tidak menerima bantuan sosial apapun dari pemerintah (PBI JKN, Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Bantuan Pemerintah Non-Tunai (BNPT)/Beras Sejahtera (Rastra) tergolong cukup tinggi (Susenas, 2017). Seperti dalam grafik diatas, 20 persen dari penduduk di desil 1 tidak menerima bansos apapun dan kurang dari 5 persen dari penduduk desil 1 menerima empat bansos utama (PKH, PIP, PBI JKN, Rastra/BPNT). Selain itu, banyak keluarga yang lebih kaya (desil 5-10) justru menerima bansos bahkan menerima empat bansos. Hal ini merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan pemerintah dalam memberi bantuan sosial agar tepat sasaran, terutama alokasi jaminan kesehatan untuk masyarakat PBI. Semakin tinggi tingkat akurasi penerima bantuan, maka semakin efektif alokasi anggaran yang diberikan. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan