Pesantren Laboratorium Perdamaian

BANDUNG – Sebagai laboratorium perdamaian, pesantren merupakan tempat menyemai ajaran Islam Rahmatan lil alamin, Islam ramah dan moderat dalam beragama.

Hal tersebut disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat membacakan sambutan dari Menteri Agama pada upacara peringatan Hari Santri Tahun 2019 di Lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro No. 22, Kota Bandung, Selasa (22/10).

”Pada peringatan Hari Santri tahun ini, pemerintah mengusung tema “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”. Hal tersebut tak lepas dari peran pesantren yang merupakan laboratorium perdamaian,” kata pria yang kerap disapa Emil ini.

Dia menyampaikan, sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural. Dengan cara inilah, keragaman dapat disikapi dengan bijak serta toleransi dan keadilan dapat terwujud.

”Semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia,” paparnya.

Terpilihnya Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sejak 2 Januari 2019 hingga 31 Desember 2020, lanjutnya, menjadikan Indonesia turut serta dalam menginisiasi dan mendorong proses perdamaian dunia agar semakin kuat dan nyata.

”Ini menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa, terutama kalangan santri Indonesia agar turut berperan aktif dan terdepan mengemban misi serta menyampaikan pesan-pesan perdamaian di dunia internasional,” tuturnya.

Gubernur menegaskan, ada sembilan alasan mengapa pesantren layak disebut laboratorium perdamaian. Pertama, santri memiliki kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Ini bisa terlihat melalui perjuangan santri dari masa ke masa.

Kedua, menerapkan metode mengaji dan mengkaji. Selain mendapat bimbingan, teladan, dan transfer ilmu langsung dari kiai, pesantren juga menerapkan keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab.

”Melalui ini, para santri dididik belajar menerima perbedaan, namun tetap bersandar pada sumber hukum yang autentik,” ucapnya.

Ketiga, santri biasa diajarkan untuk khidmat (pengabdian). Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama serta realitas kebutuhan sosial. Keempat, pendidikan kemandirian membuat santri mampu bekerja sama dan saling membantu karena jauh dari keluarga. Sehingga, santri terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas, dan gotong royong sesama pejuang ilmu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan