Penjaga Terakhir Drama Sunda

Ada dua garapan besar Teater Sunda Kiwari yang patut diapresiasi dan seharusnya mendapat dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan. Pertama adalah diselenggarakannya Festival Drama Sunda yang sampai tahun 2019 telah dilaksanakan sebanyak 20 kali sejak dimulainya pada tahun 1990. Ini artinya, hampir setiap tahun (kecuali di tahun-tahun 90-an) festival yang melibatkan banyak peserta dari seluruh pelosok Jawa Barat ini hadir dan ikut mendukung pemertahanan bahasa Sunda melalui pementasan sastra. Kedua adalah diadakannya pasanggiri penulisan naskah drama Sunda yang melahirkan nama-nama penulis drama yang konsisten di jalurnya, juga menghadirkan naskah-naskah drama yang kemudian digunakan sebagai naskah pilihan dalam festival drama.

Nama-nama seperti Nunu Nazarudin Azhar, Dhipa Galuh Purba, dan Dadan Sutisna adalah mereka yang rajin mengikuti pasanggiri penulisan drama Sunda ini. Dari mereka kemudian lahir karya yang selayaknya akan dicatat dalam sejarah perkembangan drama Sunda, seperti “Jeblog”, “Nagri Katumbiri”, “Satru”, “Nyi Anteh”, “Di Hiji Tempat nu Biasa” (Nazarudin Azhar), “Badog”, “Pajaratan Cinta”, “Nyi Bagendit Gugat”, “Teroris”, “Seksa” (Dhipa Galuh Purba), “Nagara Angar”, “Kaferehe”, dan “Baruang” (Dadan Sutisna).

Sementara itu, adanya festival drama Sunda ini membuat salah seorang pelaku teater yang selama ini lebih banyak dikenal namanya di jagad teater Indonesia, Arthur S. Nalan pun menyumbangkan naskah untuk setiap pertunjukan Teater Sunda Kiwari. Naskah yang ditulis Nalan misalnya “Kėrė Unggah Balė”dan “Benang Kusut”. Hal yang sama juga terjadi pada penggiat teater Ayi G. Sasmita dan Rosyid E. Abby. Ayi G. Sasmita menulis naskah drama  “Cinta Ka Tungkul Ku Pati”, “Kalangsu”, dan “Tungtungna Tunggara”. Adapun Rosyid lebih banyak menulis naskah drama saduran dari bahasa lain. Dari generasi setelahnya, muncul juga Lugina De yang mulai menggarap naskah drama, seperti dalam “Dayeuh Simpe”.

Sebagai teater pertunjukan, Teater Sunda Kiwari tidak hanya menggarap naskah-naskah drama yang berasal dari pengarang kontemporer. Naskah yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya, seperti “Tukang Asahan” karya Wahyu Wibisana tetap menjadi salah satu sumber pementasannya. Hal ini tentu memiliki alasan. Alasan utamanya adalah karena naskah tersebut bisa melintasi zamannya atau tetap relevan dengan kondisi sekarang. Karya-karya Wahyu Wibisana yang sarat dengan muatan filosofis agaknya sejalan dengan misi Teater Sunda Kiwari yang ingin menggugah masyarakat melalui penampilan drama Sunda yang meskipun terlihat sederhana namun mengandung pembelajaran berharga ketika mengapresiasinya.

Tinggalkan Balasan