Mekanisme Pemilihan Rektor Harus Direvisi

JAKARTA Sejak diterbitkan pada 2015 lalu, Peraturan Menteri Agama (PMA) 68/2015 terkait pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Agama (Kemenag) menuai polemik. Munculnya kasus jual beli jabatan di Kemenag, menjadikan usulan merevisi regulasi ini mencuat kembali.

Sebelumnya kelompok yang keberatan dengan regulasi PMA 68/2015 beralasan karena demokrasi di kampus menjadi kurang optimal. Sebab senat tidak memiliki hak suara. Hak suara sepenuhnya ada di tangan Menag. Sementara kelompok yang mendukung menyebut regulasi ini menghilangkan kecenderungan kubu-kubuan dalam agenda pilrek di kampus.

Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin menceritakan pada 2015 lalu, ketiga regulasi ini baru diterbitkan, banyak masukan dari para guru besar (gubes) supaya aturan tersebut direvisi. “Tapi setelah diimplementasikan, di tahun 2016 gak ada lagi (usulan revisi, Red) sampai sekarang,” katanya saat dikonfirmasi kemarin (24/3).

Namun Kamaruddin tidak bisa menutup-nutupi kondisi terkini. Dia mengatakan setelah ada kasus jual beli jabatan yang melibatkan dua pejabat kemenag dan mantan Ketum PPP Romahurmuziy, kembali muncul permintaan dari para guru besar supaya PMA 68/2015 direvisi. “Ya, mungkin mereka menganggap ini momentum, walau sebenarnya berbeda, katanya.

Yang dimaksud Kamaruddin berbeda adalah konteks kasus yang mendera dua pejabat Kemenag dan Romahurmuziy tidak sama dengan pemilihan rektor. Sehingga tidak ada kaitannya.

Kamaruddin menjelaskan ada masukan dari sejumlah guru besar untuk dilakukan revisi PMA 68/2015. Namun dia menegaskan ada juga kelompok lain yang mendukung dan memuji regulasi itu. Dia mengatakan Kemenag tentu terbuka untuk mendiskusikannya. “Apakah direvisi atau tidak, kita lihat nanti diskusinya,” jelasnya.

Diantara guru besar di lingkungan Kemenag yang mengkritisi PMA 68/2015 itu adalah Komaruddin Hidayat. Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan, aturan pemilihan rektor tidak bisa dipukul rata. Untuk kampus-kampus yang sudah besar atau mandiri, sebaiknya pemilihan rektor diotonomikan ke kampus. Tidak lagi ditentukan di ruangan Menag.

Sebelumnya kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap dua pejabat Kemenag, merembet pada proses pemilihan rektor. Diantaranya di UIN Syarif Hidayatullah. Mahfud MD pada sebuah tayangan televisi menceritakan kondisi yang dialami Andi Faisal Bakti.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan