Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Merugikan Rakyat

NGAMPRAH– Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan naik hingga dua kali lipat oleh pemerintah pusat disesalkan oleh DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Pjs Ketua DPRD KBB, Bagja Setiawan menilai, kenaikan yang tinggal menunggu disahkan lewat Peraturan Presiden (Perpres) tersebut sangatlah merugikan rakyat.

Apalagi, berdasarkan observasi di lapangan mayoritas masyarakat di KBB saat ini menjawab tidak setuju dengan kenaikan tersebut.

“Kebanyakan dari mereka beralasan merasa terbebani dengan penghasilan yang minim tapi harus dipotong gajinya lagi. Apalagi bagi kepala keluarga yang harus membayar 1 KK (kartu keluarga) sekaligus. Dan saya menilai keluh kesah mereka sangat wajar,” kata Bagja, kemarin (16/9).

Selama ini, defisit jadi alasan pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan. Defisit pada 2014 Rp 1,9 triliun, kemudian naik pada 2015 jadi Rp 9,4 triliun. Pada 2016 mengalami penurunan menajdi Rp 6,4 triliun.

“Sayangnya harus kembali naik lagi di tahun 2017 menjadi Rp 13,8 triliun. Kemudian naik lagi pada 2018 mencapai Rp 19,4 triliun dan tahun ini berpotensi naik tajam menjadi Rp 32,8 triliun,” ungkap Bagja.

 

 

Bagja mengatakan, argumentasi pemerintah tentang rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan memang sangat logis. Namun tetap saja, kata dia, ada beberapa penyebabnya dari permasalah terjadinya defisit pada BPJS Kesehatan, di antaranya Rumah Sakit yang bersikap curang.

“Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah selesai melakukan audit sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hasilnya,
tak sedikit rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan yang melakukan kecurangan dalam data kategori demi mendapatkan per unit pasien lebih besar dari penggantian BPJS Kesehatan. Misal, yang awalnya termasuk kategori B tapi saat pelaporan jadi A,” kata Bagja.

Selain Rumah Sakit, lanjut Bagja, faktanya banyak perusahan juga yang melakukan tindakan kecurangan. Padahal, aturan sebenarnya, setiap perusahaan harus membayarkan iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya sebesar 4% dari 5% dari gaji pokok karyawan.

“Banyak ragam kecurangan tersebut, antara lain ada yang melaporkan jumlah karyawan yang lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya dan ada pula perusahaan yang membuat laporan mengecilkan gaji karyawan,” ungkapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan