Kemarau Ancam Produksi Pangan

JAKARTA – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprediksi musim kemarau pada tahun ini akan berdampak pada keringnya sumber-sumber air. Sehingga, akan mengancam produktifitas sektor pertanian.

Kepala Bidang (Kabid) Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Hary Tirto Djatmiko mengatakan, berdasarkan analisa kemarau tahun ini akan lebih kering bila dibandingkan 2018 lalu.

Dia mengatakan, sektor pertanian akan kena dampaknya karena minimnya suplay air. Terlebih, kebanyakan lahan pertanian di Indonesia masih banyak mengandalkan hujan.

’’ Kekeringan juga akan banyak menjadi penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan,” kata Hary kepada wartawan, Selasa (27/8) malam.

Kendati begitu, kondisi ini tidak bisa disamaratakan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ketersediaan air tanah dipastikan akan mengalami defisit.

Sementara itu pengamat bidang pertanian yang juga guru besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas mengatakan, setelah melakukan kajian dan analisa luas panen diperkirakan tahun ini akan menurun diatas 500 ribu hektar dibanding 2018.

Menurutnya, turunnya luas panen tersebut disebabka mundurnya musim tanam. Baik musim tanam pertama di musim hujan, maupun musim tanam kedua di musim gadu (padi yang ditanam pada musim kemarau).

“Perhitungan saya, penurunan produksi beras kira-kira dua juta ton, itu paling optimis. Bisa lebih dari dua juta ton,” ujarnya lagi.

Dia mengingatkan, musim kemarau tahun ini perlu diantisipasi oleh pemerintah. Terutama ketersediaan pasokan air. Selain itu, pemerintah tidak boleh terbuai dengan data yang disodorkan
bahwa ada potensi surplus sekitar 4 juta ton hingga September 2019.

“Hitungan itu tidak memperhitungkan bahwa masa paceklik itu sampai Februari atau Maret tahun depan. Kebutuhan kita sebulan itu sekitar 2,5 juta ton. Artinya untuk dua bulan saja tidak cukup. Bagaimana untuk bulan-bulan berikutnya,” beber Dwi Andreas.

Apalagi, sambung dia, dipastikan mulai bulan Oktober sampai Februari neraca akan defisit. Sehingga, surplus saat ini empat juta ton itu tidak berarti apa-apa.

’’Itu yang harus diwaspadai pemerintah,’’ cetus Dwi.

Salah satu dampak yang akan dirasakan masyarakat adalah kenaikan harga beras. Sebab, indikasi turunnya jumlah produksi beras saat ini sudah terlihat. Yakni dari harga gabah kering panen (GKP) yang sudah hampir mencapai Rp 6 ribu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan