Kegalauan Konstitusional Perumus Kebijakan

Kebijakan yang tidak mencerminkan aspek filosofis kebangsaan dapat mengakibatkan kegalauan konstitusional (kacau) karena apa yang dipikirkan oleh perumusk kebijakan berbeda dengan apa yang dirasakan dalam keadilan masyarakat, padalah cukup jelas dalam aline keempat UUD 1945 jika dihayati paling tidak dalam perumusan kebijakan harus memperhatikan tujuan negara yaitu “perlindungan masyarakat” (social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare).

Kegalauan konstitusional dapat diperhatikan dalam conth beberapa RUU, misalnya saja RUUKUHP menabrak habis aspek filosofis kebangsaan misalnya saja cara pendekatan perampasan kemerdekaan rakyat menjadi agenda besar bahkan cenderung intimidatif, bayangkan saja dari 1251 perbuatan pidana dalam R KUHP, terlihat jumlah perbuatan pidana yang diancam pidana penjara menduduki porsi paling tinggi (1154), diikuti dengan pidana denda (882).

Lebih miris lagi aspek “perlindungan masyarakat” (social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) yang malah dihantam oleh Pasal 431 RUUKUHP yang mengatur penggelandangan, bukannya Pasal 34 melekatkan kewajiban pada negara memeilihara penggelandanagan, bahkan memberikan jaminan social dan bertanggungjawab memebrikan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum, padahal negara diam saja (commisionis delict) sudah melanggar konstitusi tapi justru negara menjelma menjadi “drakula” yang harus mengisap darah mereka di jeruji besi, lebih mengerikan lagi kegaluan ini jika pasal ini dibaca bersamaan dengan pasal pembiaran ungaas, justru rakyat yang dinekakan sanksi, sementara negara yang melakukan pembiayarn malaj diberi kewenangan untuk menetapkan sanksi kepada rakyat, kegalaauan konstiusional semacam apa lagi yang dihendaki oleh perumus kebijakan, kekacualn konstitusional ini tersebar merata dalam narasi pasal-pasal RUU yang ditolak oleh rakyat belum lagi hal-hal yang berisifat privat diatur oleh negara, apakah negara sudah kehilangan pekerjaan? Bahkan memilukan jika materi yang sudah dibatalkan oleh putusan MK dihidupkan kembali ibarat “zombie” seperti pasal Penghinaan presiden dan wapres padahal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/puu-iv/2006, telah dihapus karena MK memaandang tidak sesuai dengan negara demokrasi bahkan ini adalah warisan Kolonial yang konon kabarnya kita akan meninggalkan hukum-hukum colonial.

Kegalauan konstitusional ini semakin diperparah dengan adanya diskursus tentang Perpu,padahal kita menyadari bahwa UUKPK belum berlaku jike membaca Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang mengisyaratkan menunggu 30 hari, dan belum diumumkan dalam Lembaran Negara, sehingga belum tercantum nomernya, lantas Perpu itu mau membatalkan UU apa? Meskipun Pasal 22 UUD 1945 memberikan hak konstiusinal kepada presiden, namun norma hukum itu tidak berdiri sendiri tetapi ada morlalitas diatas norma hukum, apakah pantas atau patut sebuah ruu yang dibahas bersaa dan belum berlaku mengikat rakyat sudah dibatalkan oleh Presiden melalui perpu?

Tinggalkan Balasan