Kegalauan Konstitusional Perumus Kebijakan

Kebijakan sering digadang-gadang sebagai parameter untuk melihat apakah sebuah rezim demokratis atau tidak, meskipun sangat disadari  kebijakan merupakan instrument politik bagi pemilik  otoritas dalam sistem bernegara secara syah yang diatur dalam konstitusi, untuk menetapkan serangkaian regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Wettelijk regeling ), peraturan kebijakan (Beleidsregels) dan bahkan keputusan (beschikking) baik yang bersifat kewenangan asli (original authority) dan pelimpahan (delegated authority). Dengan demikian titik puncak kebijakan ada pada pemegang otoritas politik, sehingga jika terjadi dominasi dalam kebijakan secara invensional dan instrument negara lainnya hanya diletakan sebatas legitimasi yuridik atau menjustifikasi (rubber stamp) maka kebijakan di vonis tidak demokratis.

Perdebatan teoritikal diatas, kadang menjemukan untuk dijadikan sandaran berpikir, ketika dihadapkan pada realita serangkaian kebijakan yang tidak dapat dijelaskan secara naratif, kenapa rakyat tidak boleh menikmati keadiilan? Serumit apakah perumus kebijakan untuk mengatur rankyatnya dalam rangka mencapai kesejahteraan yang berkeadilan? Terlepas dari demokratis atau tidak dalam perumusan kebijakan, namun faktanya masyarakat telah berupaya melakukan complain atas kebijakan yang diannggapnya tidak berpihak bahkan divonis kebijakan hanya mementingkan relasi konfigurasi politik semata, padahal semangat perumus kebijakan telah menguraikan dari mulai sejak Prolegnas, Pembahasan RUU dan Penetapan UU bahkan dibuka kanal untuk komplem secara konstitusional  melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sesuai kewenangannya.

Padahal semua menyadari, bahwa pembaruan hukum nasional dilaksanakan melalu pembentukan kebijakan negara/Peraturan Negara (staatsregelings), namun acapkali kebijakan hanya dipahami sebagai serangkaian seremoni (teknis an-sih) yang dikemas dalam orkestrasi politik sehingga terkesan menjadi kebaikan (framing). Padahal kebijakan yang dibuat tidak dapat dilaksanakan secara baik karena acap kali bertubrukan dengan keadilan rakyat, lantas apa sebenarnya penyakit kornis yang dialamai dalam suatu kebijakan, sehingga kebijakan hanya indah dalam narasi namun menimbulkan kekacauan (Chaos)  dengan keadilan rakyat.

Terpaparnya serangkaian RUU seperti RUUKUHP, Agraria, PKS, KPK dan lain sebagainya diakhir masa jabatan legsilatif, menunjukan ada kesalahan yang sangat fundamental baik dalam perspektif proses tanpa adanya proses akselerasi kepentingan rakyat dan sosialisasi yang baik, atau responsibilitas perumus kebijakan tidak melekatkan partisipasi sebagai instrument penting dalam perumusan kebijakan, dan termasuk juga serangkaian kebijakan tersebut lepas dari konteks aspek filosofi kebangsaan.

Tinggalkan Balasan