Harapan Baja

Bayangkan kalau tidak ada dua pabrik Jepang itu. KS bisa lebih parah lagi.

Mengapa saham di dua perusahaan Jepang itu hanya 20 persen?

Pihak Jepang sebenarnya menawarkan 50 persen. Tapi Krakatau Steel tidak punya uang –untuk setor modal sampai 50 persen.

Tapi Jepang tetap menyediakan ruang sampai 50 persen itu. Suatu saat nanti, kalau KS sudah punya uang, ruang itu bisa diambil.

Bahkan Jepang setuju untuk diikat lebih jauh: dua pabrik baru itu harus menjual bajanya ke satu perusahaan milik bersama –yang saham mayoritasnya di pihak Indonesia.

Perusahaan itu bergerak di bidang pemasaran baja. Oleh perusahaan ini baja dari dua pabrik tersebut dijual untuk pasar Indonesia. Yakni pabrik-pabrik mobil Jepang di sini.

Harapannya: dua-tiga tahun lagi laba dua pabrik ini sudah membaik.

Masih ada harapan lain. Satu pabrik lagi akan selesai dibangun. Yang ini 100 persen milik KS.

Setahun lagi pabrik dengan mesin-mesin dari Jerman itu akan bisa operasi. Produknya untuk mendukung pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Maka dua-tiga-empat tahun lagi mestinya KS sangat sibuk. Empat pabrik baru sudah jalan semua. Masih ditambah fasilitas baru yang juga segera selesai dibangun: blast furnace.

Seperti juga pabrik baru yang lain, pabrik baru keempat ini pun ada dramanya. Ada korbannya.

Memang tidak mudah membangkitkan Krakatau Steel. Tapi empat pabrik baru tadi menjadi harapan. Diam-diam di tengah kesulitannya KS bisa punya lima pabrik baru.

Tapi mungkin juga itu belum cukup untuk mengatasi kelemahan mendasar di KS.

Kelemahan mendasar pertama adalah mahalnya energi. Padahal pabrik baja itu haus sekali energi.

Krakatau Steel sangat telat menyadari ini. Sadarnya mungkin tidak telat. Tapi action-nya tidak cepat. Termasuk action saya waktu itu. Sudah membangun empat pabrik baru pun KS masih kurang cepat.

Mestinya dibangun pula infrastruktur energinya. Agar tidak lagi tergantung gas alam.

Naiknya harga gas bumi telah membuat KS tidak kompetitif!

Apalagi, di Indonesia, harga gas dibuat sama untuk siapa saja. Tidak ada kebijakan yang mengistimewakan industri strategis. Atau industri dalam negeri.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan