Gunung Garam

Terowongan ini panjangnya 1 km. Kami pun turun. Terowongan itu bercabang-cabang. Saya harus memilih memasuki cabang yang mana. Yang sudah tidak ada relnya lagi.

Terowongan itu tidak dibuat secara khusus. Yang utama adalah mengambil batunya. Kian lama kian dalam. Jadilah terowongan.

Batu terowongan itulah ‘batu garam’. Itu bukan batu. Tapi bongkahan garam. Sekeras batu. Bongkahan-bongkahan itulah yang diangkut ke pabrik. Untuk dihancurkan dengan. Mesin. Menjadi garam.

Tentu dinding terowongan itu garam juga. Atau terbuat dari batu garam. Yang sudah dibentuk seperti bata. Lalu disusun menjadi dinding terowongan.

Tidak percaya?

Ada resikonya. Seperti yang saya alami.

Saya diminta menjilat dinding bata itu.

Benar saja. Dinding itu asin.

Di bagian-bagian tertentu di dalam terowongan itu dibuat bangunan. Terutama di bagian terowongan yang melebar. Yang sudah dikeruk batu garamnya. Misalnya dibangun poliklinik kecil. Bangunan itu semua dindingnya terbuat dari bata garam.

Saya tidak bisa membedakan kerasnya batu garam ini dengan batu gunung terbaik dari Palu. Keras sekali. Hanya saja warnanya agak bening. Ketika di balik dinding itu diberi cahaya, warna dindingnya menjadi eksotik. Sesuai dengan warna cahaya di dalamnya.

Saya dibawa masuk lorong lebih dalam. Lorong itu ada pintu gerbangnya. Dikunci. Tidak semua wisatawan dibolehkan masuk.

Itulah lorong yang disebut “Crystal Palace”. Yang sudah dilengkapi tata cahaya. Dan memang seperti istana kristal. Dinding-dinding terowongannya gemerlapan. Seperti berlian terkena cahaya. Itulah kristal batu garam. Saking kerasnya batu garam di bagian itu. Dan hanya di bagian ini.

Banyak juga kolam-kolam besar di dalam terowongan ini. Ada yang dalamnya sampai 27 meter. Itulah bekas galian untuk diambil batu garamnya.

Tidak takutkah terowongan itu runtuh? Saya terkubur di dalamnya? Sama sekali tidak. Gunung ini batunya keras sekali. Eh, garamnya keras sekali.

Memang ada tetesan-tetesan air dari atas terowongan. Di beberapa tempat tetesan itu dibiarkan. Membeku pelan-pelan. Membentuk seperti menara-menara katedral. Warna putih. Warna garam.

Maka tidaklah berlaku pepatah itu di sini: asam di gunung, garam di laut…(Dahlan Iskan).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan