Garuda Sriwijaya

Kian lama tunggakan itu kian besar. Terakhir, konon mencapai Rp 1,6 triliun.

Tagihan besar seperti itu bikin serba salah. Terutama bagi manajemen GMF.

Apalagi kalau Sriwijaya-nya punya banyak koneksi. Yang bisa menekan GMF.

Pilihan GMF serba sulit: tidak mau lagi memperbaiki pesawat Sriwijaya?

Tagihannya tidak akan dibayar. Dengan alasan: penghasilannya berkurang. Gara-gara pesawatnya tidak bisa terbang.

Peraturan di penerbangan sangat ketat. Pesawat yang mestinya diperbaiki tidak boleh dioperasikan.

Kalau GMF terus memperbaiki?

Tagihannya kian besar. Hasil operasi belum tentu untuk membayar biaya pemeliharaan. Bisa-bisa untuk membayar utang yang lain.

Ada ‘hukum’ di bidang bisnis itu begini: siapa yang lebih keras menagih ialah yang dibayar lebih dulu.

Perusahaan BUMN biasanya paling kurang keras melakukan penagihan.

Kadang juru tagihnya malas. Atau kurang terampil. Kadang ada yang terutang budi –atau utang lainnya. Kadang justru dilarang menagih keras-keras.

Di swasta, tagihan adalah urusan hidup mati.

Itu yang juga selalu saya ajarkan. Termasuk kepada pebisnis pemula. Yang biasanya sangat lemah dalam urusan keberanian menagih.

Akhirnya tagihan kian besar. Kian takut pula menagih. Takut kehilangan pelanggan. Juga takut yang ditagih marah.

Banyak pemula yang tidak merasa: uang itu adalah uangnya. Yang ada di tangan orang lain. Yang harus diambil.

Kalau memang segan menagih lebih baik diikhlaskan. Jadi sedekah. Lalu berhentilah berbisnis. Jadilah lembaga sosial.

Tagihan yang tidak tertagih itu menjadi laba di akhir tahun. Tapi itu laba yang bentuknya hanya angka. Bukan uang.

Laba itu dikenakan pajak.

Jadi, kalau tagihannya Rp 1,6 triliun, GMF harus membayar pajak laba 30 persennya.

Hanya pemula yang tidak sadar itu.

Tapi GMF bukan pemula.

Mengapa sampai punya tagihan sebesar itu.

Mengapa tidak tegas ketika tagihannya baru Rp 40 miliar atau Rp 100 miliar?

Mengapa pula langkah berikutnya justru kerjasama?

Tentu saya tahu maksudnya: agar manajemen Sriwijaya bisa diambil alih.

Motif pengambil alihan itu bisa dua:

a). Sekedar mengamankan uang.

b). Ada keinginan menguasai (mencaplok).

Kalau motifnya mengamankan uang berarti harus ada keyakinan: bahwa Sriwijaya masih bisa menghasilkan uang yang melebihi biaya operasi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan