Dua Bambu Tua Topang Rumah Amin

CIMAHI – Dua bambu berwarna kuning masih masih menancap. Bambu itu digunakan Amir Suhendar, 45, untuk menopang dinding rumah yang dihuninya agar tidak roboh. Sementara atapnya pun nampak sudah lapuk.

Kondisi tersebut membuat Amin serta istrinya Eusi Sulastri,42, dan tiga anaknya selalui dihantui keresahan setiap malam. Mereka khawatir rumahnya tiba-tiba roboh. Apalagi posisi rumahnya berada pada kemiringan sekitar 45 derajat.

Rumah yang berada di kawasan Desa Wisata Legok Awi, Kampung Torobosan, RT 02/RW 12, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi memang bukan rumah atas nama Amin dan keluarga. Melainkan rumah milik kakanya, Oneng Rokaesih yang kini tinggal di Kota Bandung.

Berdasarkan pantauan, dinding rumah yang berada pada tingkat kemiringan sekitar 45 derajat itu menganga dengan lebar rekahan lebih dari 2 centimeter dari bagian atas hingga ke bagian bawah dinding. Bahkan, dinding pada bagian belakang rumah tersebut sudah ditopang penyangga berupa bambu. Bagian dalam rumahnya juga sudah terdapat banyak retakan.

”Sebelumnya retakan itu kecil, tapi pas ada gempa Banten beberapa bulan lalu jadi semakin parah,” ujar Amin saat ditemui di rumahnya, Senin (21/10).

Pilihan baginya saat ini sangat terbatas. Rumah tersebut diperbaiki atau pindah dari rumah yang yang sudah ditinggalinya selama 12 tahun. Namun, dua-duanya merupakan pilihan yang sulit, mengingat kondisi ekonominya yang cukup terbatas.

”Kalau siang ya mungkin lebih aman, soalnya anak-anak sekolah. Yang khawatir itu kalau malam, takutnya tertimpa juga,” tuturnya.

Kekhawatiran Amin dan keluarganya semakin bertambah. Sebab wilayah sekitaran rumahnya masuk kategori rawan pergeseran tanah. Apalagi berdasarkan keterangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), November mendatang akan memasuki musim hujan.

”Di sini memang rawan pergeseran tanah,” ucapnya.

Amin sendiri hanya seorang buruh serabutan, yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masih jauh jika harus memperbaiki rumahnya dengan biaya sendiri.

”Anak saya ada tiga, kerja saya serabutan. Kadang jadi kuli bangunan. Ya uangnya cukup buat makan aja, buat bayar sekolah anak juga susah,” jelasnya.

Dia mengaku sudah beberapa kali didatangi oleh dinas terkait didampingi pengurus RT dan RW. Secara kasat mata, rumah tersebut memang layak untuk diberikan bantuan perbaikan. Namun kendalanya adalah soal kepemilikan lahan.

Tinggalkan Balasan