Dinilai Berpotensi Bungkam Kebebasan Pers

CIMAHI – Seruan aksi penolakan terhadap 10 pasal Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) datang dari Kota Cimahi. Kali ini kebijakan yang membuat publik resah itu disuarakan para jurnalis. Pasalnya, pasal-pasal tersebut dinilai berpotensi membungkam kebebasan pers.

Aksi penolakan dan kecaman terhadap produk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah pusat itu, dilakukan pada Kamis (26/9/2019) di Halaman Kantor DPRD Kota Cimahi, Jalan Djulaeha Karmita.

Para jurnalis yang biasa melakukan tugas peliputan di wilayah Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat (KBB) memulai aksinya pukul 09.00 WIB. Selain RKHUP, yang menjadi sorotan adalah masih ditemukannya arogansi dan intimidasi terhadap para jurnalis.

Bentuk penolakan dan keprihatinan para jurnalis itu dituangkan dalam berbagai poster, orasi dan teatrikal dan juga penggunaan lakban pada mulut masing-masing yang menyiratkan kebebasan pers akan dibungkam dengan adanya prodak baru para elit politik itu.

Ketua IJTI Sangkuriang, Edwan Hadnansyah memaparkan, aksi turun ke jalan dilakukan sebagai bentuk perlawanan jurnalis atas RKUHP yang memuat pasal karet yang berpotensi menghalangi tugas jurnalistik.

Pasal karet tersebut, yaitu Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, Pasal 263 tentang berita tidak pasti, serta Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan.

Kemudian Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik, serta Pasal 446 tentang pencemaran orang mati.

”Di sini kami minta DPR RI bukan menunda, tetapi menghentikan revisi 10 pasal karet ini, pers sudah memiliki UU Pers yang sudah menjadi acuan jurnalis dalam bertugas,” ungkap Edwan disela-sela aksi.

Bukan hanya itu, Edwan juga mengecam masih adanya pewarta yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan saat tugas peliputan berita.

”Perlu perombakan standar operasi Polisi agar benturan saat tugas pengamanan dan tugas jurnalistik hilang,” ujarnya.

Dijelaskannya, kemerdekaan pers akan menunjang  kualitas proses demokrasi, catatan dia, dua puluh tahun terakhir telah banyak persoalan publik yang diangkat oleh pers, mulai dari kelaparan, korupsi, kesehatan masyarakat, kemiskinan, bencana nasional, kebakaran hutan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan