Difa Bike, Layanan Transportasi Difabel untuk Difabel

Para pengemudi Difa Bike dipilih dari kalangan penyandang disabilitas yang paling sulit mendapat pekerjaan. Untuk penumpang difabel yang hendak ke rumah sakit, digratiskan.

ANISATUL UMAH, (Jawa Pos) Jogjakarta

SUGIYONO mengusap peluh yang membasahi dahi dan wajah. Berjalan menggunakan alat bantu jalan, menuju kantor tempat sejumlah rekan kerjanya tengah santai meriung.

Di bagian belakang jaket yang dikenakan pria 33 tahun tersebut terpampang tulisan “Difa Bike”. Di hari menjelang tengah hari pada Jumat tiga pekan lalu (22/2) di Jogjakarta itu, Sugiyono hendak bersantap siang.

“Kami dapat tiga kali makan dalam sehari di sini,” katanya seraya memperkenalkan Jawa Pos dengan sejumlah pengemudi atau driver Difa Bike lain di kantor yang berada di kawasan Wirobrajan, Jogjakarta, itu.

Sejak 3 Desember 2015 Difa Bike beroperasi di Jogjakarta. Layanan ojek online itu mempekerjakan kalangan driver dari kalangan difabel berpendidikan rendah. Atau, mereka yang paling rentan jadi korban stigmatisasi atau diskriminasi.

Difa Bike kini telah memiliki 15 motor. Semua motor itu dimodifikasi. Ada ruang khusus untuk penumpang di samping kirinya. Tempat duduknya dilengkapi ramp untuk memudahkan pengguna kursi roda.

Yang dilayani sebenarnya siapa saja, difabel maupun nondifabel. Namun, Triyono mengakui, sejak berdiri, bisa dibilang sekitar 90 persen pemakai jasa Difa Bike dari kalangan difabel.

“Kalau ada orang nondifabel yang pakai jasa kita, biasanya karena pernah bersinggungan dengan difabel. Entah aktivis atau pihak keluarganya ada yang difabel,” kata Triyono, sarjana peternakan alumnus Universitas Sebelas Maret Solo itu.

Triyono juga seorang difabel. Pria kelahiran Solo, 21 Juni 1981, itu lumpuh akibat polio di usia 2 tahun. Semasa kecil, dia pernah ditolak dua kali saat akan masuk sekolah dasar (SD) umum. “Saya akhirnya masuk sekolah luar biasa (SLB) satu tahun, setelah itu operasi kaki dan istirahat dua tahun,” kenangnya.

Setelah menjalani operasi dan bisa berjalan dengan alat bantu tongkat di kanan kiri tangannya, dia diterima di sekolah umum biasa. Ketinggalan jauh karena dua tahun tak sekolah, Triyono masuk melalui tes kemampuan.

Tinggalkan Balasan