Cita-cita Meleset di Gedung Pencakar Langit

Butuh empat tahun akhirnya Merry memperoleh sertifikat dari Assosiation Rope Access Indonesia (ARAI) dan mulai bekerja di sejumlah kilang minyak di Lepas Laut Jawa dan Kalimantan. Tubuhnya yang mungil terlihat lincah saat bergelantungan. Dari atas ketinggian 100 meter, Merry harus bisa menaksir titik atau point di sebuah gedung sebelum melakukan perawatan. ”Total saya bergelantungan di gedung hampir delapan tahun lamanya. Makanya, hitam begini,” candanya.

Meski demikian, bekerja di tengah lingkungan maskulin tak serta merta membuat karakternya menjadi pria seutuhnya. Bahkan dirinya masih tetap merawat rambutnya tetap panjang untuk membedakan dirinya dengan pria. Meski kadang dia harus senewen, karena kerap dipanggil mas-mas saat bertugas.

”Kaget saja mereka, enggak tahu kalau saya perempuan. Padahal potongan rambut panjang begini,” kata Meri seraya tertawa.

Di tengah kesibukannya bergelantungan di atas gedung, dia tetap melakukan hobinya yakni membuat rancangan pakaian dan menjahit. Terkadang, rancangan tersebut dia ubah menjadi gaun resmi saat pergi memenuhi undangan pernikahan. Biasanya hobi ini saya lakukan saat libur, Mas, paparnya.

Baginya, pekerjaan yang ia geluti saat ini tak mengenal gender. Tak ada diskriminasi. Semua orang bisa melakukannya. Meski demikian, dia tak melupakan kodratnya sebagai wanita. Sisi kewanitaannya pernah tersentuh saat mendengar neneknya berbicara mengenai kodrat sebagai wanita Minang.

”Di adat kami, seorang wanita harus memiliki kemampuan memasak dan menjahit yang harus dikuasai perempuan. Apalagi saat menikah, keahlian ini harus dilakukan,” katanya.

Merry tak melihat bekal yang diberikan neneknya sejak kecil mengerangkeng dirinya dalam stigma perempuan dan laki-laki. Justru menurut dia itu jadi kelebihan lain bagi perempuan yang bisa bekerja di lingkungan laki-laki.

”Dalam setiap pekerjaan saya tetap berbaur dengan rekan kerja di lapangan sembari mendengarkan kisah kehidupan mereka,” ujarnya. Obsesinya menjadi pengajar dan instruktur di bidang rope access.

Hal senada diungkapkan Mukhlisin, 29. Sejak lulus dari SMA Banjar Patroman, Kabupaten Banjar, Jawa Barat, tahun 2006, dia lalu melanjutkan studinya di Fakultas Ushuluddin jurusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah. Kegiatan panjat tebing di Kelompok Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup Kemahasiswaan (KMPLHK) Kembara lnsani lbnu Battutah (Ranita) di kampusnya membuatnya jatuh hati dengan dunia tali temali tersebut. ”Dari sana saya dapat ilmu, meski harus mati-matian menyelesaikan skripsi,” ujarnya seraya bercanda.

Tinggalkan Balasan