Bulog Impor Bawang Rawan Diselewengkan Pihak Lain

JAKARTA – Rencana pe­merintah mengimpor Bawang Putih dengan menugaskan Bulog mendapat perhatian sejumlah pihak.

Ekonom Universitas Indo­nesia (UI), Lana Soelistia­ningsih berpandangan untuk mengimpor bawang putih dipandang sulit. Sebab, saat ini Bulog memiliki modal sangat terbatas. Sehingga, dikhawatirkan membuka ru­ang penyelewengan penjua­lan hak impor bawang putih Bulog kepada pihak ketiga.

Dia memaparkan, setidaknya ada dua kerawanan ini. Di satu sisi, Bulog memiliki keter­batasan dana. Di sisi lain, BUMN ini akan menjual hak impornya kepada importir lain untuk mengambil keuntungan.

“Dalam hal mungkin hak impornya itu dijual ke orang lain kemudian dihargai mahal untuk mengambil keuntung­an itu. Itu ada potensi,” ujar akademisi ini kepada warta­wan di Jakarta, Selasa (25/3).

Pengalihan hak impor ke­pada pihak ketiga pun sang­at mungkin dengan harga berlipat ganda dibandingkan harga sebenarnya.

“Saya Bulog, saya nggak punya uang. Saya tahu ada yang punya uang. Kamu mau nggak impor, tapi atas nama saya? Oke. Harga berapa? 100? Bikinlah Rp150, misalnya,” tambah Lana.

Dia tak menampik, selama ini Bulog berperan sebagai stabili­sator untuk komoditas-komo­ditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun untuk meminimalkan potensi penyelewengan ada baiknya Bulog lebih diarahkan sebagai evaluator, bukan sebagai pelaku impor langsung.

menyarankan, pemerintah harus menetapkan harga ece­ran tertinggi terhadap komo­ditas khususnya pertanian. Tujuannya agar siapa pun yang mengimpor nilai jual komodi­tas di pasaran tidak melambung.

Senada, pengamat ekonomi Prof. Didik J Rachbini melihat saat ini kapasitas Bulog sudah sangat menurun sehingga akan tidak mampu untuk mengu­rus bawang putih.

Dia pun meyakini Bulog akan meminta bantuan swasta un­tuk melakukan impor komo­ditas tersebut. Kinerja penyera­pan padi petani pun tak meng­gembirakan.

“Kalau Bulog nggak punya dana, dia ngambil swasta. Berbagi untung dengan swas­ta. Itu sama dengan mono­poli,” ujar pendiri INDEF ini.

Praktik semacam itu, diung­kapkan Didik sudah terjadi sejak lama. Tak tertutup kemungkinan ini berulang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan