Bawaslu Putus 114 Pidana Pemilu

JAKARTA– Pelaksanaan Pe­milu 2019 diwarnai cukup ba­nyak pelanggaran yang masuk ranah pidana. Hingga selesai­nya pemungutan suara, telah ada 114 putusan pidana di Bawaslu. Sebanyak 106 putusan sudah dinyatakan inkracht, sedangkan delapan putusan lainnya dalam proses banding. Sidang akan segera dilanjutkan setelah libur Lebaran usai.

Berdasar catatan Bawaslu, Gorontalo menjadi provinsi dengan putusan pidana pe­milu terbanyak/yang memi­liki jumlah putusan terba­nyak. Jumlahnya mencapai 15 putusan. Salah satu kasus yang pernah mencuat di Go­rontalo adalah kasus pidana salah seorang caleg DPRD Kota Remi Ontalu.

Caleg partai Nasdem itu ter­paksa dicoret dari daftar pen­calonan oleh KPU setempat karena hakim sudah menjatu­hinya hukuman penjara. Dia dipidana karena telah melang­gar pasal 532 ayat 1 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Remi tertangkap basah mela­kukan kampanye yang me­nyerupai politik uang. Ke­pada pendukungnya, dia berjanji memberikan ban­tuan jika berhasil menjadi anggota DPRD Kota Goron­talo. Atas perbuatannya itu, Remi dijatuhi hukuman dua bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan.

Ketua Bawaslu Abhan men­jelaskan, money politics me­mang menjadi salah satu persoalan pemilu yang menda­pat perhatian khusus dari Bawaslu. Jika menemukan kasus semacam itu, Bawaslu tidak akan segan untuk se­gera melakukan penindakan. “Memang butuh pembuktian. Yang memutus bersalah bukan Bawaslu, tapi majelis hakim di peradilan,” ucapnya.

Selain politik uang, Bawaslu memberikan perhatian besar terhadap netralitas aparatur sipil negara (ASN). Apalagi, undang-undang sudah me­negaskan bahwa mereka di­larang menyuarakan keber­pihakan di ruang publik. Hal yang sama juga diberlakukan kepada TNI dan Polri.

Abhan menilai, perlu ada evaluasi terhadap regulasi yang mengatur pelanggaran netralitas ASN, TNI, dan Polri dalam pemilu. Misalnya, intuk ASN di daerah, we­wenang menjatuhkan sanksi ada pada gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara itu, Bawaslu tidak punya we­wenang sama sekali. “Sanksi­nya hanya terkait aturan kepegawaian. Beda dengan pelanggaran yang dilakukan masyarakat sipil. Aturannya harus dikaji,” tegasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan