Bahasa Ibu sebagai Gerbang Kebudayaan

Demikian juga terhadap penguasaan simbol-simbol dari karya arsitektur klasik yang masih kuat menempel pada artefak-artefak keraton, candi, gua Sunyaragi, masjid-masjid kuno, runtuhan rumah-rumah yang memiliki nilai sejarah, bahasa daerah  mutlak harus dikuasai. Karya-karya sastra klasik, kitab-kitab babad, tulisan pada daun lontar merupakan ”jalan pembuka” untuk pengantar media yang ada pada masa kini.

Dalam hal lain, sebagai media komunikasi antarpenutur, anggah-ungguh pada bahasa lokal harus diterapkan sebagai bagian dari tata krama, bukan feodal. Dalam penggunaannya, anggah-ungguh tersebut melihat percakapan, lawan bicara dan apa yang dibicarakan serta kriteria lain, status menyangkut umur, kedudukan, sosial, ekonomi, pendidikan dan pengetahuan.

Dalam bahasa Cerbon misalnya, kebiasaan penutur menggunakan bentuk (rimbag) padinan terhadap lawan bicaranya yang sebaya atau sederajat (umur, pangkat, status sosial atau pendidikan) dan juga terhadap orang yang memiliki status di bawahnya. Malah pada saat istirahat (ngaso), dia menggunakan bentuk padinan sebagai bahasa gaul sehari-hari. Penggunaan bentuk padinan dalam ”basa gaul” dengan alasan orang Cerbon itu memiliki sikap egaliter (sepadan), blakasuta (blak-blakan) dan toleran sebagai ciri masyarakat pesisir yang melihat teman bicaranya – utamanya yang akrab – sebagai sederajat. Demikian pula dengan Sunda dan Melayu Betawi, ada tata krama yang harus dipatuhi.

Kekayaan kosakata dan dialek bahasa lokal  yang tersebar di berbagai daerah sudah merupakan syarat yang menyatakan bahasa tersebut bisa dijadikan “bahasa masa depan” termasuk menjadikannya sebagai bahasa pengantar keilmuan untuk menulis karya-karya ilmiah, seperti makalah, laporan penelitian, tesis dan disertasi. Juga bisa menjadi “bahasa pengantar” untuk pengajaran di lingkungan pendidikan. Mari kita bersama-sama menjaganya.***

 

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan