Aturan Baru KPU Harus Berpayung Hukum

JAKARTA – Sejumlah aturan baru yang dimasukkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan memiliki payung hukum yang kuat. Jika aturan hanya berdasarkan Peraturan KPU, dikhawatirkan bakal muncul gugatan dari peserta pemilu. Penyelenggara pemilu harus proaktif melobi pembuat undang-undang agar merevisi UU Pilkada.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo memastikan pemerintah telah menyiapkan penyelenggaraan Pilkada 2020 dengan baik dan detail. Hanya saja, untuk sementara pelaksanaan Pilkada Tahun 2020 akan berpayung hukum UU Nomor 10 Tahun 2016. Yakni tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang.

Ini dilakukan sambil menunggu kepastian dari DPR periode 2019-2024 untuk merevisi UU tersebut atau tidak.

”Kami belum tahu untuk awal tahun depan ada skala prioritas untuk merevisi atau tidak. Kesimpulan rapat terakhir kami dengan KPU, Bawaslu, DKPP dan Komisi II DPR (periode 2014-2019) adalah menyinkronkan kembali UU Pilkada, UU Pemilu, dan UU Parpol. Mudah-mudahan masuk Prolegnas. Karena kita ingin terus meningkatkan kualitas konsolidasi demokrasi ke depan,” kata Tjahjo di Jakarta, belum lama ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni menyarankan jika lembaga penyelenggara pemilu menyiapkan revisi UU Pilkada. Hal ini berkaitan dengan larangan pencalonan mantan koruptor di Pilkada Serentak 2020. Jika larangan tersebut diatur dalam UU, maka landasan hukumnya menjadi lebih kuat.

”Kami mendorong agar pengaturan tersebut diadopsi di dalam regulasi setingkat UU. Karena kalau di PKPU, akan rentan digugat,” kata Titi.

Dia tak mempermasalahkan KPU tidak mencantumkan larangan tersebut dalam draf PKPU pencalonan Pilkada 2020 yang diuji publik pada Rabu (2/10) lalu. Titi menilai KPU sedang menyusun taktik untuk meloloskan larangan pencalonan mantan koruptor. Sebab saat mengatur larangan itu di Pemilu 2019 lewat PKPU Nomor 20 tahun 2018, KPU digugat ke Mahkamah Agung (MA).

Titi menilai saat ini adalah kesempatan baik bagi KPU jika serius ingin membatasi hak politik para koruptor. KPU disarankan mulai melakukan lobi untuk revisi UU Pilkada.

”KPU adalah pelaksana undang-undang. Tetapi, KPU bisa proaktif menyampaikan pandangan dan gagasan untuk bisa diakomodir pembuat UU merujuk putusan MA yang lalu,” tandasnya.(fin/ziz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan