Kecuali bunyi “ng” dan dialek, rata-rata mahasiswa Ukraina menganggap bahasa Indonesia mudah dipelajari. Berikut catatan kontributor Jawa Pos RICA S. WURYANINGRUM yang sejak September lalu membantu mengajar di sana.
KALAU manusia kalah sama gajah oke lah. Bisa diterima. Tapi, bagaimana bisa gajah yang segede itu kalah oleh semut yang seupil? Dan, ketika berhadapan dengan manusia yang tak seberapa bobotnya, justru semut yang kalah?
Sungguh “persoalan” yang filosofis. Yang biasanya membuat ruang kelas di kampus Kyiv National University (KNU) of Taras Shevchenko, Ukraina, ramai.
Persisnya, saat para mahasiswa program studi bahasa dan sastra Indonesia akan bermain dakon. Yang selalu diawali
dengan bersuten terlebih dahulu dengan melibatkan tiga jari: ibu jari (gajah), jari telunjuk (manusia), dan kelingking (semut).
Saya tentu pernah membantu menjelaskan. Bahwa ada kandungan filosofis di balik suten itu. Tapi, ya sia-sia.
“Oke, kami paham, tapi tidak berarti sepenuhnya setuju,” kata Victoria Yarkovska, salah seorang mahasiswi. Militan sekali! Hehehe.
Tapi, keseriusan bermain dakon itu setidaknya bisa sekaligus menggambarkan antusiasme mereka dalam mempelajari bahasa Indonesia. Beserta ragam budayanya.
Prabowo Himawan, kepala program studi bahasa dan sastra Indonesia di KNU of Taras Shevchenko, menceritakan bahwa program studi bahasa dan sastra Indonesia di universitas tersebut awalnya dibuka pada 1997. Itu sebagai upaya Indonesia untuk mengenalkan -juga berdiplomasi- budaya Indonesia kepada Ukraina. Dengan demikian, kedua negara bisa saling bertukar budaya. Sekaligus menjalin kerja sama dalam hubungan bilateral.
Namun, karena kurangnya sumber daya pengajar, saat itu sempat ditutup. Dan, baru dibuka lagi pada 2012.
Saat dibuka kembali, pihak Indonesia sempat sedikit pesimistis akan animo dari anak-anak muda Ukraina yang ingin belajar bahasa Indonesia. Sebab, bisa jadi meraka tidak mengetahui tentang Indonesia. Bahkan, mungkin ada yang masih tidak tahu Indonesia itu di mana.
Ternyata, realitasnya mengagetkan. Berlipat-lipat melampaui target. Sekitar seratus calon mahasiswa mendaftar ke program studi yang baru dibuka itu. Padahal, kuota yang telah ditetapkan pihak universitas hanya sepuluh kursi. Sekarang setiap tahun universitas hanya menerima delapan mahasiswa melalui penyaringan.