”Faktor penyebab mereka kesiangan terjadi karena berinteraksi di media sosial. Sebanyak 90 persen mengaku begitu,” kata Insan, guru perwakilan dari kelompok satu.
Meski demikian, masalah waktu itu juga tidak lantas sepenuhnya menyalahkan peserta didik. Sebab, guru dan kepala sekolah sebagai panutan juga berpengaruh besar pada kedisiplinan siswa. ”Memang tidak dipungkiri, guru pun kerap telat. Apalagi ketika pergantian kelas,” sambungnya.
Siti Fatimah dari SMK 2 Cianjur mewakili kelompok tiga mengungkapkan, tidak bisa dipungkiri jika praktik bullying itu masih ada di setiap sekolah. Hanya saja penekanannya berbeda-beda tergantung wilayah. ”Bullying tumbuh besar di media sosial karena mereka tidak bisa mengekspresikan kekesalan mereka di lingkungan. Kenapa bahasanya jadi kasar? Sebab yang bertindak lebih banyak jempol ketimbang otaknya,” kata Siti.
Narasumber Erwan Nizwarudin M, PubPol MGt mengatakan, ada salah satu masalah yang hampir sama ketika bersinggungan dengan masalah non akademik adalah masalah sopan santun. Yang kelas di atas, atau yang lebih tua merasa perlu dihargai. Trennya masalah sopan santun. Posisi yang di atas harus dihargai.
”Berkaitan dengan tata tertib hingga kini umumnya masih dibahas. Esensinya ada di area banyak orang yang ingin dihargai berdasarkan tingkatan. Tapi, berbicara prilaku dan pendidikan karakter, tentu tidak hanya sekadar itu,” urainya.
Menurut dia, permasalah pendidikan karakter juga menyinggung banyak hal. Salah satunya potensi peserta didik yang beragam namun banyak diseragamkan.
Terkait sosialisasi Jabar Masagi, kata dia, sebenarnya masih panjang. Dan akan ada strategi lebih diperbesar untuk meraih jangkau lebih besar.
”Sebab, Jabar Masagi nantinya tidak hanya menyentuh ekosistem sekolah, tapi juga masyarakat,” paparnya.
Terkait teknis, dalam waktu dekat akan ada seleksi sekolah percontohan dari tiga wilayah budaya: Sunda, Cirebonan dan Betawi. ”Selanjutnya ke 13 wilayah KCD (Kantor Cabang Dinas, Red),” pungkasnya. (rie)