Murid Sebagai Anak Didik, Anak Genetik dan Sahabat Terbaik

“Kudu ngindung ka waktu, kedah mibapa ka zaman”, sebuah peribahasa sunda yang sangat sarat dengan nilai-nilai filosolofis. Peribahasa tersebut mengandung arti keharusan untuk bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, menuntut kita untuk senantiasa up to date, menyesuaikan dengan kondisi dan kemajuan  zaman dalam segala bidang. Dalam hal ini, kita harus bisa ngingelan zaman, mengikuti dinamika zaman, kekinian. Kalau tidak, maka kita akan terlindas oleh kemajuan itu sendiri.

Begitupun dengan profesi guru. Saat ini, guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa tapi sebagai sebuah profesi yang dituntut untuk profesional harus menunjukan pola, sikap dan pendekatan yang kekinian juga dalam menjalankan profesinya. Untuk itu, guru harus berkemampuan dalam menggunakan berbagai  produk hasil kemajuan zaman dalam menjalankan tugasnya. Produk teknologi yang justru mempermudah proses belajar mengajar itu harus dioptimalkan oleh setiap guru demi mendapatkan hasil yang maksimal. Karena guru yang mengajar dengan menggunakan metode dan perangkat konvensional, akan ditinggalkan.

Begitupun dengan pendekatan terhadap murid, guru harus bisa melakukan sebuah pendekatan yang kekinian sesuai dengan kondisi lingkungan dan psikologis murid zaman now. Kalau dulu guru senantiasa menekankan sisi punishment untuk mempermudah doktrinasi terhadap anak didiknya, maka sekarang hal itu harus diseimbangkan dengan sisi reward-nya. Dulu, guru mempunyai otoritas penuh untuk mendidik muridnya, termasuk dengan berbagai macam sanksi, bahkan yang berbau fisik. Sekarang model pendisiplinan seperti itu tidak sepenuhnya lagi sesuai untuk diterapkan. Dengan melihat berbagai macam faktor penyebabnya, mulai dari faktor sosio kulutural, pola asuh keluarga hingga psikologis anak, murid sekarang mempunyai kecenderungan berontak dengan segala macam yang berbau kekerasan fisik seperti itu. Alih-alih menuruti keinginan guru agar dia berubah menjadi baik dan mengikuti aturan, mereka malah cenderung lebih demonstratif lagi menunjukkan kenakalannya itu.

Oleh sebab itu, berawal dari pengalaman menjadi guru di berbagai sekolah swasta mulai dari SD, SMP dan SMA saya melakukan pendekatan kepada mereka dengan memposisikan murid sebagai anak didik, anak genetik dan teman terbaik. Saya menganggap mereka sebagai anak didik ketika proses belajar mengajar formal sedang dilangsungkan di dalam ruangan. Dalam proses transfer pengetahuan itu, saya mendominasi ruangan untuk menyampaikan materi ajar kepada para peserta didik. Dalam kesempatan ini saya memposisikan diri sebagai guru mereka dengan segala norma dan kepatutannya. Sebagai guru sekolah dasar, saya sedikit bersikap otoriter untuk terciptanya suasana kelas yang kondusif untuk belajar mengajar. Termasuk mengabaikan anak didik yang beralasan ke wc, buang sampah dan dalih lainnya dengan maksud menghindari Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan