Menimbang Calon “Pelayan” Rakyat di 2019

MENJELANG Piplres dan Pileg April 2019, rakyat perlu mempertimbangkan secara seksama calon-calon pemim­pinnya. Di satu sisi pilpres dan pileg menyajikan banyak ca­lon berkualitas dengan pro­gram kerja dan rekam jejak yang baik, berintegritas dan kepemimpinan tangguh dan di sisi lain bermunculan para politisi dengan modal uang, wacana tanpa kerja nyata, terindikasi koruptif dan abai terhadap kepentingan rakyat. Rakyat harus kritis melihat rekam jejak para politisi ter­sebut. Salah memilih akan berakibat fatal. Kepentingan rakyat lima tahun ke depan kembali dikorbankan.

Menimbang secara kritis rekam jejak calon pelayan rakyat bukan tanpa alasan. Perilaku para pejabat (ekse­kutif, yudikatif maupun legis­latif) yang terlibat korupsi justru semakin merajalela lima tahun terakhir. Banyak pejabat di pusat dan di daerah kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK (Komisi Pemberan­tasan Korupsi). Hal ini sema­kin jelas dari hasil analisis Transparency International pada tahun 2017 lalu yang mencatat bahwa indeks per­sepsi korupsi (Corruption Perseption Index (CP) Indo­nesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia. Pada tahun 2017 lalu, Wakil Ketua KPK Saut Sitomorang mengutip rilis yang pernah dikeluarkan Har­vard Bussiness Review per Oktober 2017, indeks korup­si Indonesia berada di angka 37 dari rentang 0-100. Sedang­kan negara tetangga Malaysia lebih tinggi di angka 50.Kon­disi ini semakin mempersulit terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Kekayaan negara hanya di­nikmati segelintir orang.

Seorang filsuf Inggris ber­nama Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) membe­rikan sebutan terhadap po­litisi yang memiliki hasrat besar untuk memiliki benda-benda untuk kepentingan pribadi dengan istilah politisi posesif. Menurutnya politisi posesif dalam menjalankan amanah politiknya lebih mementingkan benda-benda pribadi. Benda-benda pribadi ini tidak dapat dibagikan kepada orang lain, melainkan hanya untuk kepen­tingan pribadi, kelompok, dan golongan. Mengapa politisi posesif berorientasi pada ben­da-benda pribadi? Sebab me­reka hanya ingin memiliki hasrat besar untuk memiliki benda-benda pribadi tersebut.

Berpolitik bukan lagi soal mensejahterakan rakyat ba­nyak, melainkan demi me­menuhi hasrat kepemilikan harta kekayaan, kekuasaan, dan kemuliaan. Ketika para politisi tersebut menguasai semua jabatan politik, maka negara tinggal menunggu waktu menuju kemunduran dan kehancuran total. Bebe­rapa negara Afrika seperti Somalia, Sudan dan lain-lain mengalami kehancuran tragis karena perilaku korup para pemimpinnya. Politisi-politi­si posesif menyebabkan ke­hancuran karena mengeruk keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Ini yang sedang dipertontonkan segelintir politisi korup di negeri ter­cinta ini.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan