Memperhatikan Hermeneutika para Guru
Secara etimologis, hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuin, artinya menafsirkan, kata bendanya hermeneia berarti tafsiran. Dalam bahasa Yunani, akar kata ini dipakai dalam tiga makna: mengatakan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Tiga makna ini, dalam bahasa Inggris, diekspresikan dengan kata: to interpret. Intinya, hermeneutika mencoba menginterpretasikan teks tertulis maupun “teks” sosial yang ada pada suatu kelompok masyarakat (Dani Vardiansyah, 2008: 60).
Pada saat ini, semua orang pasti mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai apa pun itu, bahkan pancasila pun bisa saja ditafsirkan berbeda pula. Memang seiring berjalannya waktu, penafsiran tersebut akan menciptakan sebuah obsesi yang di mana obsesi itu datang ketika demokrasi di negeri kita sedang mengalami kelesuan yang sangat memprihatinkan.
Terlebih lagi, beberapa obsesi tersebut terkadang harus bertolak belakang dengan pancasila, misalnya beberapa kelompok masyarakat mempunyai obsesi ingin membangun negara islam di Indonesia, ada juga yang mempunyai obsesi ingin membangkitkan kembali komunis di Indonesia, dan obsesi-obsesi lainnya yang tidak diketahui pemerintah, sehingga bisa menjadi lawan yang sangat sulit untuk dikalahkan oleh pancasila. Begitu pun dengan para guru yang selalu mempunyai opini untuk tidak menghormati agama lain, hal itu juga termasuk ke dalam obsesi yang betolak belakang dengan Pancasila dan pluralisme yang dianut oleh Indonesia. Maka dari itu, institusi pendidikan jangan hanya berfokus terhadap kurikulum dan pencapaian prestasi yang diperoleh siswa maupun para gurunya, tetapi juga harus memerhatikan bagaimana hermeneutika para guru terhadap suatu kelompok masyarakat yang menganut agama lain dan juga harus memperhatikan obsesi para guru yang mempunyai potensi untuk bertolak belakang dengan pancasila.
Mencari Obat Mujarab
Entah mengapa tiba-tiba isu intoleransi kembali lagi berkembang di saat Indonesia sudah mau memasuki tahun politik yang sangat menegangkan ini. Virus intoleransi ini harus segera ditemukan obat mujarabnya dengan sebaik mungkin, karena jika tidak ditemukan, maka virus tersebut akan terus menyebar dengan cepat. Oleh karena itu para guru harus mempunyai etika komunikasi yang baik. Menurut Joseph A. Devito, etika komunikasi landasannya adalah gagasan kebebasan memilih (notion of choice) serta asumsi bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Komunikasi dikatakan etis bila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan memberikan kepada orang tersebut dasar pemilihan yang akurat. Komunikasi dikatakan tidak etis bila mengganggu kebebasan memilih seseorang dengan menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan informasi yang relevan dalam menentukan pilihan (Joeph A. Devito, 2011: 29).