Ditolak, Bikin Anak Syok

BANDUNG – Penyelenggaraan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2018 masih menyisakan luka. Banyak di antara orang tua calon siswa yang mengeluhkan anaknya sedih, menangis, dan tak keluar rumah selama beberapa hari karena tak diterima di sekolah negeri.

Psikiater Rumah Sakit Melinda 2 Kota Bandung Teddy Hidayat, dr.,Sp.KJ(K) mengatakan, kondisi tersebut wajar dialami anak usia remaja mengingat pada usia 13-15 tahun masih sangat labil.

”Ini kan remaja. Kalau mengalami suatu kegagalan, pasti akan syok, sedih, cemas, jengkel, kecewa, itu kan campur aduk. Itu yang dialami jika dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan,” ucap Teddy kemarin (13/7).

Hal tersebut diperparah, ketika anak tersebut melihat teman sebayanya yang berhasil masuk sekolah negeri. ”Terlebih apabila temannya masuk, terus dianya tidak bisa masuk, atau karena zonasi. Yang satu lebih pintar misalnya tapi tidak bisa masuk, yang satu tidak pintar tapi bisa masuk, itu pasti membuat jengkel dan marah,” ungkap Teddy.

Selanjutnya, Teddy mengungkapkan hal tersebut akan hilang cepat atau lambat tergantung pada perhatian orang tua anak tersebut. ”Seiring berjalannya waktu, masa krisis saat emosi negatif tersebut masih menyelimuti akan mereda jika orang tua terus memberikan dukungan,” pungkasnya.

Sebagai informasi pemerintah pusat sejak 2017 setidaknya telah menerapkan sistem zonasi dalam PPDB. Diberlakukannya sistem ini sebagai pengganti sistem sebelumnya, yaitu Penerimaan Siswa Baru (PSB) yang hanya berdasarkan Nilai Ebtanas Murni (NEM).

Pada 2018, pemerintah kembali menerapkan sistem zonasi dalam PPDB yang berlandaskan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018. Akan tetapi, penerapan sistem tersebut dinilai masih menjadi polemik dan memiliki berbagai kekurangan.

Menanggapi hal itu Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat Yomanius Untung menilai sistem zonasi dalam PPDB 2018 harus diimbangi dengan peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh daerah supaya tidak menjadi permasalahan yang terus menerus berlanjut.

”Kami menilai zonasi harus tetap jalan karena itu kebijakan yang bagus tetapi yang harus dicatat, sistem zonasi harus beriringan dengan pembenahan layanan pendidikan,” kata Yomanius.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan