Bawaslu Soroti Praktik Politik Uang

JAKARTA – Penanggulangan praktik politik uang terus menjadi sorotan. Alasannya melalui praktik yang disebut mahar tersebut, pembelian kursi kerap terjadi menjelang kontestasi pemilu. Jenis pelanggaraan ini hampir selalu ditemukan. Bahkan ada kecenderungan massifnya pelanggaran politik uang dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangannya.

Ketua Bawaslu Abhan menjelaskan bahwa kondisi pemilu 2019 berbeda dengan 2014. Dari sisi kontestasi, pemilu 2019 adalah pemilu serentak nasional. Bentuk kampanye dan sebagainya pertama kali akan dilakukan serentak.

Dia mengatakan kondisi saat ini dengan adanya UU nomor 7 membuat situasi jadi berbeda dengan sebelumnya. ”Prinsipnya adalah kenaikan parlementary treshold, yang semula 3 persen menjadi 4 persen. Tentu ini akan ada sebuah kontestasi kompetisi yang sangat ketat. 16 partai ini bertanding bagaimana bisa menyelamatkan diri dalam tanda kutip untuk lolos ke parlemen nantinya dengan ketentuan 4 persen ini,” ujar Abhan dalam Diskusi Media dengan tema “Antisipasi dan Penindakan Politik Uang dalam Pemilu 2019” di Media Center Bawaslu, Jakarta, Senin (8/10).

Dia menjelaskan sistem pemilu Indonesia masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Dimana kata Abhan semua di berbagai lini partai berkompetisi. “Sesama caleg dalam satu partai juga berkompetisi. Tentu kami mengantisipasinya kalau peserta pemilu, kemudian kalau para caleg berpikiran pragmatis, dia mungkin akan menggunakan cara politik uang untuk mendapat suara,” papar Abhan.

Menurutnya ini menjadi tugas yang harus di hadapi Bawaslu. Mereka harus bisa mengantisipasi agar potensi praktik politik uang ini sedapat mungkin harus ditekan.
“Kami sebagai pegawas pemilu akan bekerja maksumal dan ke publik untuk mengkapanyekan gerakan anti politik uang,” tambahnya.

Setelah sistem yang harus diatur sedemkian rupa, Abhan menyampaikan bahwa perbedaan yang progresif diantara 2 UU yaitu UU no.7 dan UU no.10 tahun 2016.

“Kalau kita bandingkan regulasi soal money politik antara UU 7 2017 dan UU 10 pilkada, lebih progresif UU 10 tahun 2016, pilkada itu. Di uu pilkada, pemberi dan penerima masing-masing bisa dihukum. Tapi UU 7 ini enggak. Yang hanya bisa dikenakan pidana kalau money poltik ini hanya penerima,”

Terkait dengan Subjek pelaku tindak pidana money politik menurut Abhan di dalam UU pilkada subjeknya jauhl lebih mudah. “yaitu setiap orang, siapapun yang melakukan money poltik, siapapun yang memberi, itu bisa dijerat,” tandasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan