Armada Kurang, Sampah Pasar Menumpuk

SOREANG – Permasalahan menumpuknya sampah di Pasar Sayati disebabkan karena adanya keterbatasan armada pengangkutan sampah yang dimiliki Pemkab Bandung.

Bupati Bandung, Dadang M. Naser mengakui, selamaini armada truk pengangkut sampah masih kurang. Sedangkan, untuk memberikan layanan kebersihan sendiri harus menjangkau 31 kecamatan dan Kecamatan, 270 Desa.

’’Inilah kenapa sampah di Pasar Sayati sering terlambat diangkut,”jelas Dadang kepada wartawan kemarin. (5/10).

Untuk menyelesaikan masalah ini, solusinya adalah seluruh pedagang Pasar Sayati untuk bersama-sama peduli mengatasi permasalahan sampah dengan cara pengelolaan sampah.

Selain itu, untuk pola pengangkutan sampah di Pasar Sayati akan dijadwal ulang, sehingga pengangkutannya tidak terlambat dan menyebabkan penumpukan.

Dadang menyayangkan, pengelola Pasar Sayati tidak langsung berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Sehingga, jika tidak sanggup mengelola sampah dari para pedagang sebaiknya diserahkan ke Pemkab.

Sementara itu aktivis lingkungan Son Son Garsoni menilai,
penanganan sampah di pasar tradisional masih menggunakan konvensional dan belum memperhitungkan biaya pengelolaan secara matang. Padahal dalam aturan undang-undang nomer18 tahun 2008 Tentang Persampahan, diatur bahwa tempat komersial wajib melakukan pengelolaan sampahnya sendiri.

Sehingga, jika aturan ini diterapkan dan diperkuat juga oleh Perda, tentunya pengelolaan sampah pasar di Kabupaten Bandung tidak akan terus terusan menimbulkan masalah.

’’Pasarkan tempat komersial maka wajib mengelola sampahnya sendiri, kalau sekarang kan pengeloaan sampahnya oleh dinas pasar sedangkan urusan sampahnya sama Dinas Lingkungan Hidup,”kata Son Son ketika ditemui kemarin (4/10).

Dia menuturkan, sebetulnya pemerintah juga memiliki perhitungan biaya pengelolaan sampah. Sehingga, dana yang ada bisa mencukupi untuk pengelolaan sampah.

Dia mencontohkan, untuk pengelolaan sampah di TPA Legok Nangka itu pengelola disana mematok tapping fee sebesar Rp 381 ribu per ton, sehingga jika biaya transportasi dibebankan maka biayanya Rp 600 ribu per ton lah.

’’Nah biaya itu seharusnya diperhitungkan oleh pengelola pasar. Jadi mereka harus memperhitungkan berapa retribusi dari pedagang, upah pegawai kebersihan, biaya transportasi dan lainnya,’’kata dia.

Son son menilai, pemerintah dan pengelola pasar sepertinya belum melakukan cara tersebut, sehingga biaya untuk pengelolaan sampah pasar tidak jelas kemana larinya. Bahkan, pengelolaan sampah terkesan serabutan seperti tidak punya program kerja permanen.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan