”Kalau memang akhirnya Kang Undang bisa bunuh diri, ya berarti ada kesalahan prosedur atau memang dia dijadikan kambing hitam atas kejadian yang sebenarnya bukan dia yang lakukan,” tutur IKA yang mengaku mengenal Undang karena beberapa kali pindah tahanan.
Dia mengaku, prihatin atas insiden tersebut. Sebab, di Lapas dan Rutan nyaris tidak ada sisi kemanusian. Khususnya dari petugas sipir.
Ketika menjalani hukuman di Rutan Kebonwaru, dia mendapati salah satu teman satu kamarnya yang sedang sekarat. Posisinya, rekan-rekan napi lain duduk solonjoran agar paha bisa dijadikan kasur berbaring si temannya itu.
Ketika dia menginformasikan ada rekannya yang sekarat pun, harapan dia, petugas sipir bisa membantu evakuasi ke puskesmas atau Rumah Sakit Hasan Sadikin yang memang dijadikan rujukan bagi para napi yang sakit keras.
”Tapi karena teman itu tidak punya uang, ya akhirnya meninggal di kamar. Keesokan harinya diberikan ke pihak keluarga, dan selesai itu seperti biasa lagi. Seperti tidak terjadi apa-apa,” tutur IKA.
Pria berperawakan kurus ini mengaku, beberapa kali melihat kondisi di mana napi akhirnya mengakhiri hidup karena tidak kuat dengan tekanan dan siksaan. ”Kalau ada yang bunuh diri, ya dibopong sama napi yang lain. Cuma bilang, napi sebelah gantung diri, ya sudah kita juga tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap pria yang keluar tahanan pada 2014 tersebut.
Segitu parahnya ruangan isolasi? Menurut IKA, ruang tersebut bisa dibilang menengah. Yang terparah adalah sel tikus. Sel ini diperuntukkan bagi napi yang benar-benar perlu dibina lebih lanjut.
Kalau memang pernah melihat tayangan film Alcatras atau film soal narapidana tentang kurungan khusus, kata dia, kurang lebih sama. Posisinya, napi dimasukan ke ruangan non-faslitas. Ruangan tanpa atap minimal tiga hari. Dengan kata lain, dalam tiga hari masa kurungan di sel tikus, napi dibiarkan begitu saja. ”Makanan itu dilempar dari jarak jauh. Syukur kalau sampai ke lubang pintu, kalau tidak ya tidak makan. Kalau buang air, ya di situ saja,” ungkapnya.
