Seniman Wayang Kulit Langganan Para Dalang Kondang

Kepercayaan para dalang itu kepada Marwanto tentu tidak datang dengan tiba-tiba. Ada proses panjang nan berliku yang harus dilalui. Garis startnya adalah keterbatasan ekonomi orang tua. Keterbatasan itulah yang membuat Marwanto tak bisa melanjutkan sekolah setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sukoharjo, 1991.

Kebetulan, Marwanto memiliki kakek dan om yang dekat dengan dunia wayang. Sang kakek adalah seniman pembuat wayang. Omnya memiliki usaha membuat busana untuk wayang orang. ”Saya nyantrik mbah saya setahun, lalu ke paklik (om, Red) juga satu tahun,” ujarnya.

Sang kakek merasa bahwa kemampuan Marwanto bisa bertambah jika berguru kepada dalang yang sudah terkenal. Saat itu nama Ki Manteb Soedharsono sudah demikian kondang. Ke sanalah Marwanto kemudian berlabuh.

Di sana, Marwanto dititipkan selama tujuh tahun. Tapi, Manteb tidak mengajarinya secara khusus cara membuat wayang. ”Kebanyakan malah melihat wayang-wayang kuno koleksi Pak Manteb, lalu saya pelajari sendiri,” kata Marwanto.

Setelah dinilai memenuhi syarat, Marwanto memberanikan diri merintis usaha sendiri. Dari nol, tentu saja. Dia memilih melakukannya di kampung kelahirannya di Sonorejo.

Salah seorang klien pertama Marwanto adalah Manteb sendiri. Awalnya baru sebatas memperbaiki wayang yang rusak saat adu sabet di pentas.

Karena hasil pekerjaannya dinilai bagus, satu per satu dalang mulai tertarik. Promosinya hanya berlangsung secara getok tular. Dari mulut ke mulut. Murni berdasar kepuasan dalang.

Selain itu, Marwanto berkesempatan langsung bertemu para dalang setiap Selasa Legi. Di weton atau hari penanggalan Jawa itu, para dalang biasanya berkumpul di rumah Manteb. ”Di sana sekalian kenalan, sekalian dapat pesanan,” katanya.

Jalan pun terbuka kian lebar. Nama Marwanto semakin melambung. Usahanya terus membesar, hingga kini sudah memiliki 15 karyawan. Mereka terbagi dalam beberapa bagian pekerjaan. Lima orang di antara mereka bertugas mewarnai detail setiap wayang. Mereka disebut pemulas atau tukang pulas. Di bagian lain, ada dua tenaga kerja yang melapis wayang kulit dengan lapisan emas.

Lapisan emas berbentuk lembaran itu dibeli Marwanto dari Jakarta. ”Ini yang namanya gerenjeng prodo mas (emas, Red). Merek-nya Liong, belinya di Pasar Glodok,” kata Marwanto dengan logat Jawa yang khas Solo.

Tinggalkan Balasan