Sadar Sudah Mustahil Jadi Pusat Dunia

Bus yang disopiri Muta dari Kuba yang dikawal tentara perempuan peranakan Peru, Hana, dan didampingi tour guide keturunan Rusia, Lior Ben David, menyambut rombongan Minggu siang (27/3). ”Welcome to Israel.”

 ABDUL ROKHIM, Jerusalem

SAPAAN ramah dari Ben David itu menandai bahwa perjalanan hampir 24 jam dari Jakarta sudah sampai tujuan. Jabat tangan dan perkenalan dengan Muta, Hana, dan Ben juga mengingatkan bahwa kami sudah tiba di tempat orang-orang multietnis dan kebangsaan berkumpul karena suatu alasan absurd bahwa inilah tanah yang dijanjikan Tuhan.

Saat dideklarasikan dengan nama Israel pada 14 Mei 1948, dua di antara tiga penduduk adalah kaum pendatang. Gelombang terbesar berasal dari Eropa. Sebagian besar yang lolos dari kekejaman kamp konsentrasi Nazi tidak punya pilihan selain ke Israel. Kelompok kedua didatangkan dari Afrika, khususnya Ethiopia, melalui operasi pemulangan rahasia yang disebut operasi Musa. Dan gelombang ketiga terjadi awal 1990-an.

Saat itu kelompok-kelompok Yahudi di negara-negara bekas jajahan Uni Soviet datang mengalir ke Israel. Itu yang eksodus besar dengan jumlah ratusan ribu orang.

Kelompok-kelompok kecil Yahudi dengan jumlah ribuan juga datang dari seluruh penjuru dunia. Total berdasar catatan pemerintah hingga akhir 2015, ada lebih dari 80 kebangsaan di Israel sehingga membuatnya menjadi bangsa kecil dengan penduduk paling heterogen di dunia.

Karena arus imigrasi besar-besaran itulah, penduduk Israel berlipat ganda hanya dalam dua tahun eksistensinya. Berselang tujuh tahun kemudian, jumlah penduduk meledak menjadi tiga kali lipat. Dan kini, data terakhir 2015, jumlah penduduk Israel mencapai 8 juta jiwa. Berarti, itu sudah mencapai 20 kali lipat jumlah penduduk saat deklarasi dibacakan 68 tahun lampau.

Penduduk yang terus bertambah tentu menuntut pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin besar pula. Pada awal eksistensinya, ekonomi Israel mandek. Uang negara tersedot untuk pendatang. ”Segala sesuatu dijatah,” ungkap Shimon Peres, 92, mantan perdana menteri dan penerima hadiah Nobel.

”Kami hanya punya buku kupon, sebutir telur tiap minggu, dan antrean panjang,” jelasnya saat ditemui di kantornya yang indah dengan view Laut Mediterania, Kamis (31/3).

Tinggalkan Balasan