Profesi Penyembuh Itu buat Nolong Orang, Bukan Jual Obat

Dokter alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, itu justru kerap menolak pembayaran dari pasien. Bahkan, suami Gan May Kwee tersebut tak jarang juga menggratiskan obat.

”Sudah simpan untuk membeli beras dan makanan,” tutur Ahmad, salah seorang pasien, menceritakan pengalaman saat Lo menolak uang yang diberikannya.

Tak jarang pasien harus ”kucing-kucingan” saat memberikan uang. ”Biasanya saya selipkan gitu saja, terus saya langsung keluar,” kata Waluyo.

Kardiman, pasien lain yang juga tetangga Lo, mengaku sering mendapat obat gratis. ”Ngambil obatnya pun dekat, di Apotek Budi Asih yang hanya sekitar 1 kilometer dari sini,” katanya.

Tapi, Lo tak menganggap apa yang dilakukannya itu luar biasa. Menurut dia, dirinya hanya melakukan apa yang menurutnya harus dilakukan. Dan, memang mampu dia lakukan. ”Bukan saya yang hebat, tapi orang-orang di belakang saya yang hebat. Mereka yang menginspirasi saya,” katanya.

Para inspiratornya itu adalah sang ayah, Lo Ban Tjiang; seniornya, dokter Oen Boen Ing; dan istri tercinta. Sang ayah bekerja sebagai pedagang tembakau. Sejak pertama Lo menyatakan niatnya menjadi dokter, sang ayah selalu berpesan agar kelak jangan bertindak seperti berdagang.

”Profesi penyembuh adalah menolong yang sakit, bukan menjual obat,” kata Lo tentang prinsipnya yang terinspirasi dari pesan sang ayah.

Jiwa sosialnya semakin terasah saat bertemu dengan dokter Oen. Lima belas tahun bekerja bersama Oen, Lo melihat sendiri betapa bersahajanya seniornya itu. Hidupnya sebagai dokter didedikasikan untuk menolong orang. Bukan memburu kekayaan.

Lo juga merasa sangat beruntung memiliki istri seperti Gan May Kwee. Sederhana, tidak neko-neko, dan sangat memahami pilihannya untuk berpraktik tanpa memasang tarif.  ”Apa yang saya peroleh dalam sebulan cukup buat kami berdua,” kata Lo yang tidak dikaruniai keturunan itu.

Karir Lo sebagai dokter dimulai ketika dia menjadi menjadi PNS setelah lulus dari Universitas Airlangga pada 1962. Sebelum akhirnya mendarat di Solo, dia sempat bertugas di Gunungkidul, Sleman, Boyolali, dan Wonogiri.

Saat di Gunungkidul itu pula, Lo sempat menderita sakit yang akhirnya menjadi salah satu motivasinya untuk membantu sesama. Dia mengalami leptospirosis kronis ketika itu.

Tinggalkan Balasan