Profesi Penyembuh Itu buat Nolong Orang, Bukan Jual Obat

Dokter Lo Siauw Ging tak hanya kerap menolak uang pembayaran dari pasien. Tapi, juga memberikan obat gratis. Merasa selalu ada tangan yang siap membantu masalah pendanaan.

Lusia Arumingtyas, Surakarta

WAKTU menunjuk pukul 15.30. Masih setengah jam lagi tempat praktik dokter itu dibuka. Tapi, di sore ketika langit Solo digelayuti awan hitam dan angin berembus cukup kencang itu, sudah dua pasien yang menunggu.

Di tempat praktik dokter Lo Siauw Ging tersebut, tak ada perawat yang membantu mencatat data dan keluhan pasien. Bahkan, meja registrasi pun tak ada. Pasien masuk ke ruang periksa berdasar kedatangan.

Padahal, antrean bisa panjang sekali. Mencapai puluhan. Pasien tak hanya dari Solo. Tapi, juga kota-kota sekitarnya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Kebanyakan dari lapis masyarakat menengah ke bawah.

”Anak saya ini generasi ketiga yang berobat ke sini. Saya dulu pertama dibawa ke sini waktu SD,” kata Waluyo, 48, yang sore itu mengantarkan anaknya yang sudah sepekan sakit.

Dokter Lo memang telah lebih dari lima dekade berpraktik di Solo. Persisnya sejak 1963. Tempat praktik di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Solo, sekarang ini merupakan lokasi kesekian.

Jadi, wajar kalau pasien dokter yang masih bekerja di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, itu merentang zaman. Lintas generasi. ”Saya kemarin sudah ke sini, tapi penuh sekali,” terang Waluyo.

Mendekati pukul 16.00, lampu di dalam ruang praktik menyala. Waluyo yang bersama anaknya tiba pertama di sana langsung masuk. Disusul berikutnya. Dan berikutnya.

Total dalam dua kali jam praktik, 08.00–11.00 dan 16.00–20.00, sekitar 70 pasien harus ditangani dokter Lo. ”Dulu bahkan rata-rata bisa seratus pasien,” kata Lo.

Padahal, usianya sudah 82 tahun. Penyakit osteoartritis telah pula menyerang persendian lutut dan pinggul. Tiap kali berjalan, dia harus dibantu tongkat. Tapi, semangatnya dalam melayani pasien tak pernah kendur.

Itu pula yang membuat pasien-pasiennya setia. Apalagi, diagnosis dokter kelahiran 16 Agustus 1934 itu dianggap sangat jitu. Istimewanya lagi, dokter kelahiran Magelang tersebut tak pernah memasang tarif.

Tinggalkan Balasan