Pagar Tanaman Itu Kini Menangi Kontes Internasional

Salah satu penyebab rusaknya kawasan hutan itu tak lain pola tanam keliru yang dilakukan warga. Kawasan hutan produksi yang seharusnya ditanami tanaman keras banyak dimanfaatkan sebagai kebun sayuran. ”Ada beberapa pohon kopi sebenarnya. Tapi hanya sebagai pagar dari kebun sayur,” ujarnya.

Kegelisahan itu mempertemukan Ayi dengan Mamat, penduduk asli Gunung Puntang yang selama ini membibit kopi arabika. Keinginan Mamat dan Ayi klop. Keduanya sama-sama ingin melestarikan hutan di Gunung Puntang. Dari situ dipilihlah penanaman kopi.

Niat baik Ayi juga didukung Koperasi Sunda Hejo. Dia diberi bibit salah satu kopi arabika tertua dari Gunung Guntur, Garut. Dengan telaten bibit tersebut disemai hingga terakhir telah menghasilkan total 10 ribu pohon.

Sebanyak seribu bibit kopi ditanam sendiri oleh Ayi dan kelompok taninya. Dia menanam di lahan seluas 2 hektare milik Perhutani dengan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Sisanya dia bagi-bagikan sendiri kepada masyarakat.

”Awalnya saya tak punya niat untuk expert di pengolahan kopi. Tapi, ternyata kopi itu tidak cukup sekadar ditanam. Harus dipelihara dan diolah dengan baik. Ya akhirnya sekalian saja,” cerita pria yang menanam kopi dengan metode organik tersebut.

Ketika kopi yang ditanam di ketinggian 1.220-1.470 mdpl itu mulai panen, Ayi mulai kebingungan. ”Mau diapain ini kopi yang dipanen? Masak hanya dijual Rp 2 ribu sampai Rp 3 ribu per kilo?” ujar bapak empat anak tersebut.

Selama ini masyarakat sekitar Gunung Puntang yang menanam kopi ala kadarnya memang hanya menjual gelondongan dalam bentuk cherry (istilah buah kopi). Di tangan para tengkulak, buah kopi arabika itu dijual supermurah.

Melihat kondisi tersebut, Ayi berpikir membuat rumah kopi. Tak jauh dari kebun di Gunung Puntang. Rumah itu dibuat sebagai tempat pengolahan kopi hingga menjadi kemasan bubuk. Dia belajar secara otodidak. Niatnya tidak sekadar meningkatkan harga jual, tapi juga mendongkrak nilai jual kopi yang ditanam para petani.

Awalnya Ayi menguji coba dengan membeli hasil panen masyarakat. Untuk membangkitkan gairah masyarakat menanam kopi, Ayi berani membeli cherry dua kali dari harga tengkulak. Dari Rp 2 ribu per kilogram dibeli Ayi Rp 4 ribu per kilo. ”Uang saya saat itu hanya cukup untuk membeli 4 ton dari petani. Saya nekat membeli lebih mahal agar masyarakat semangat menanam kopi,” kenangnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan