Nasionalisme Sempit Hambat RI Naik Kelas

Nadiem Makarim Bicara tentang Perekonomian Terbuka

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi zona ekonomi yang membuat sebagian kalangan grogi menghadapi. Dapatkah Indonesia memenangi persaingan? Nadiem Makarim menjawab pertanyaan itu dengan keyakinan supertinggi.

Nadiem Makarim
Nadiem Makarim

SAAT ditanya tentang masa depan perekonomian Indonesia, pendiri perusahaan rintisan fenomenal di Indonesia, Go-Jek, tersebut tak ragu menjawab. Pria kelahiran Singapura itu optimistis Indonesia punya masa depan yang cerah Bukan mustahil panji Merah Putih berkibar di tingkat regional, bahkan internasional.

”Dengan zaman yang mengedepankan aspek kreativitas dan inovasi, saya yakin rakyat Indonesia tak kalah dengan warga negara lain. Saya sendiri sudah melihat bagaimana orang Indonesia berjaya bahkan saat harus bersaing dengan orang dari negara-negara maju,” ujarnya saat berbincang dengan Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) di kantor Go-Jek di kawasan Kemang, Jakarta, belum lama ini.

Namun, orang Indonesia yang bisa menggapai panggung dunia memang tak banyak. Bukan masalah kompetensi atau level kecerdasan. Nadiem menganggap itu hanya masalah mental. Dengan status negara yang sebagian besar lulusan tingkat SMA ke bawah, banyak orang Indonesia yang mundur sebelum berperang.

Padahal, lanjut dia, banyak ide orang Indonesia yang sebenarnya cemerlang dan punya potensi berhasil. Namun, tak banyak yang punya keberanian mengambil risiko. Adagium no pain no gain juga sering diucapkan generasi muda dengan mudah. Namun, penerapannya paling susah.

”Kalau saya lihat, banyak orang Indonesia yang punya ambisi, tapi tak mengambil inisiatif. Alasan utama mereka adalah takut gagal. Padahal, gagal itu bukan sebuah kesalahan. Gagal itu proses pembelajaran. Jangan berharap sukses kalau tak belajar,” terang lulusan Harvard University dan Brown University, dua perguruan tinggi Ivy League, sebutan kampus paling prestisius di AS.

Dengan mental tersebut, banyak orang Indonesia yang cenderung tertutup secara mental. Karena takut kalah atau gagal, mereka menggunakan jalan tanpa risiko. Bukan cara untuk memperoleh hasil yang besar meski terdapat risiko di sana.

”Sikap sejak awal sudah salah. Di era globalisasi ini, mereka sudah takut duluan kalau-kalau kalah saing dengan orang asing. Bukannya berpikir untuk menyerap ilmu mereka dan meningkatkan kualitas diri sendiri,” imbuh pria kelahiran 4 Juli 1984 itu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan