Merasa Terancam di Atas dan Bawah

Ada orang Amerika di Amerika Serikat, ada orang Indonesia di Indonesia, tapi tak ada orang Israel di Israel.

 ABDUL ROKHIM, Tel Aviv

KALIMAT membingungkan itu dilontarkan Wahid Shammas, warga Arab Israel, saat mendampingi Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) menyusuri area Masjidilaqsa di kawasan kota tua Jerusalem, Senin pagi (28/3).

Sadar kata-katanya sulit dipahami, Shammas kemudian mengeluarkan kartu tanda penduduk (KTP) dari kantongnya. Terlihat di bawah kolom kebangsaan (dalam bahasa Ibrani, leam) terisi kata Arab.

”Jika saya Yahudi, kolom ini diisi Yahudi,” katanya. Lantas, kolom warga negara Israel di mana? ”Tidak ada,” tegasnya.

Rasanya ingin tanya lebih lanjut, tapi saat itu sudah sampai di situs sidratul muntaha (tempat Nabi Muhammad diangkat ke langit dalam momen suci Isra Mikraj). Shammas pun langsung ganti topik untuk menunaikan kewajibannya, menjelaskan keutamaan tempat tersebut.

Penelusuran lebih lanjut memang menemukan banyak hal yang semakin ganjil. Kata kebangsaan Israel tak pernah ada dalam dokumen resmi negara Israel yang mana pun. Bahkan, pernyataan kemerdekaaan Israel pada 14 Mei 1948 yang dibaca Jawa Pos di Museum Holocaust tidak dibuka dengan kalimat ”Kami, bangsa Israel”.

Kalimat yang tercantum di sana adalah ”… berdirinya negara Yahudi di Eretz Israel yang kemudian disebut negara Israel…”

Israel memang negeri yang ganjil. Tidak hanya dalam rumusan ”Apa Israel itu?”. Namun, hingga 68 tahun dia eksis 14 Mei nanti, keganjilan itu rasanya tidak kunjung genap. Desa Moshav Netiv Ha’asara menjadi saksi keganjilan Israel berikutnya.

Dari desa yang dihuni 210 keluarga tersebut, permukiman warga Palestina di Gaza bisa terlihat jelas. Barisan gedung kusam dengan kibaran bendera Palestina di beberapa pucuknya. Maklum, jarak Netiv Ha’asara dengan desa di Gaza terdekat tidak sampai 3 kilometer.

Hila Fenlon, 38, mengungkapkan, saat masih remaja, dirinya sering diajak ayahnya makan di restoran Palestina di Gaza setiap akhir pekan. Ibunya juga berbelanja sayur dan buah di sana. ”Karena itu, saya juga punya banyak teman baik di Palestina,” ungkap ibu satu anak tersebut mengenang masa remajanya.

Tinggalkan Balasan