Menyatukan Keberagaman Budaya di Kota Bandung

Menelusuri Jalur Bhineka di Bandung

Kota Bandung tak hanya sekedar sebuah tempat atau kota. Bandung menyimpan sejuta keindahan yang bisa dinikmati semua warga.

Nita Nurdiani, Cibiru

WARGA Kota Bandung boleh berbangga menyaksikan ruang-ruang di sekitaran Jalan Astana Anyar, Cibadak, Klenteng, Waringin dan Kebon Jati. Lebih jauh lagi bisa sampai Jalan Pecinan Lama dan Braga. Tempat-tempat tersebut turut membentuk sejarah keberaman Kota Bandung.

Menurut budayawan Kota Bandung Wawan Gunawan, jalan tersebut bisa dikenal sebagai Jalur Bhineka, karena banyak penyimpan ragam kebudayaan.

”Maka hasilnya seperti ini. Bangunan dan wilayah bercampur baur,” kata Wawan kepada Bandung Ekspres saat ditemui di Cibiru kemarin (8/2).

Dia bercerita, Jalur Bhineka terbentuk bermula dari niatan Daendles saat singgah dalam perintisan Jalan Raya Pos. Akhirnya pada tahun 1810, Bandung menjadi pemukiman. Mulanya Bandung hanya dihuni oleh warga dan orang Belanda. Tak butuh waktu lama, warga dari etnis Jawa, Arab, India, Tionghoa dan lainnya datang ke Bandung.

Mulanya mereka berambisi untuk menjadikan Bandung sebagai Parisnya Jawa. Akan tetapi, kedatangan mereka terbilang telat. Tidak seperti di kebanyakan kota besar di Indonesia yang akhirnya membentuk semacam wilayah ordonasi (Kampung Arab, Kampung Pecinan, Kampung Keling, dan lainnya). Di Bandung, pengaturan seperti itu tidak sempat terlalu membudidaya.

Jalur Bhineka tersebut awalnya diniatkan sebagai titik baru pemukiman warga Tionghoa, mendampingi wilayah warga Eropa di tengah kota. Menurutnya, bisa terlihat dari berbagai klenteng dan vihara.

”Di sana ada sebuah tempat ibadah terbesar dan tertua yang bernama klenteng besar. Bahkan, klenteng itu merupakan hibah dari Bupati Bandung masa itu untuk warga etnis Tionghoa,” tuturnya.

Dia menjelaskan kini tiga agama Tri-Dharma (Buddhisme, Tao, dan Hong Hu Cu) bisa menunjukan wujud bangun ibadahnya masing-masing. Di antaranya Vihara, Kung Miao dan Tao Kwan. Demikian juga warga Tionghoa yang kemudian menganut Kristiani, terdapat Gereja Katolik dan Protestan yang berdiri tidak jauh dari jalur itu, yaitu Jalan Kebonjati dan Jalan Waringin.

Didirikannya dua gereja tersebut dimaksud untuk warga Belanda di tengah Kota. Sementara terjadinya Bandung Lautan Api dan kemudian Long March Siliwangi membuat pembauran lebih terjadi. warga etnis Tionghoa menyebar ke beberapa titik lainnya. Sementara jalur tersebut semakin ramai dengan warga. ”Di sana juga terdapat Masjid An-Nashir yang terkenal sebagai masjid tertua di Bandung, lalu ada Gerakan Kesadaran Khrisna dan pertemuan Buddis,” pungkasnya. (nit/fik)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan