Gerakkan Kursi Roda dengan Otak untuk Penderita Stroke

Pemikiran itu muncul setelah Arjon mengamati perkembangan penyakit yang diderita masyarakat Indonesia. Menurut dia, saat ini, di antara semua penyakit yang tidak menular, stroke menempati posisi ketiga teratas. Karena itu, pria yang genap berusia 42 tahun pada April nanti tersebut berharap bisa memberikan sumbangsih untuk meringankan beban mereka.

Mengajak sejumlah rekan sejawat dan anak didiknya, Arjon memulai penelitian kursi roda yang digerakkan dengan pikiran. Mereka dibagi dalam beberapa tim. Ada bagian yang menerjemahkan algoritma untuk membuat software. Ada pula tim yang bertugas membuat pengontrol untuk meneruskan perintah sinyal otak ke kursi roda.

Prosesnya pun tidak mudah. Selama lebih dari dua bulan, tim harus mengulang percobaan untuk mengetahui berapa besar frekuensi yang dikirim otak untuk perintah maju, mundur, serta belok kanan dan kiri. ”Pengelolaan sinyal dari otak itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Artinya, sangat sulit ditangkap dan banyak ‘sampah’-nya,” ujar pria kelahiran Panangkoha, Samosir, Sumatera Utara, tersebut.

Setelah berhasil membuat formulanya, dia menyinkronkannya dengan database di software. Akhirnya, kursi roda bisa dijalankan dengan sistem EEG pada awal 2014. ”Terus kami sempurnakan hingga sekarang agar betul-betul bisa digunakan,” tegasnya.

Meski alat tersebut masih dalam tahap penyempurnaan, banyak pihak yang sudah menyatakan tertarik dan memesan. Belum ada target pasti untuk komersial. Namun, diprediksi, satu kursi roda otak tersebut bisa dipasarkan Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. (*/c5/end/rie)

Tinggalkan Balasan