Dari Satu Indung Telur, Dialiri Darah yang Sama

Mungkin karena di Tual, khususnya, dan Kepulauan Kei, umumnya, apa yang terjadi pada hari itu adalah bagian dari keseharian. Bukan sesuatu yang luar biasa. Semata memperlihatkan betapa kuatnya jalinan kekerabatan mereka. Tanpa memandang latar belakang.

Keluarga besar Johanes, seperti juga banyak keluarga di Kei, memang multiagama. Ayahnya yang berasal dari Ambon, Yusuf Wemay, merupakan penganut Protestan. Begitu pula kakak dan kedua adiknya.

Sang mama Richarda Wemay belum lama ini kembali menganut agama Katolik setelah sekian tahun menganut Protestan pasca menikah dengan ayah Johanes. Adapun Yusuf Rengur, paman Johanes, beragama Islam. Dia salah seorang di antara sedikit warga Kei yang berkesempatan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Yusuf pula yang dipercaya menyembelih sapi untuk santapan hajatan penyambutan.

Menurut Johanes, dalam setiap hajatan yang melibatkan keluarga besarnya, tidak pernah ada menu makanan yang tidak halal. ”Termasuk dalam penyambutan saya sebagai imam,” ujar Johanes yang menempuh pendidikan seminari pertama di Seminari Santo Yudas Thadeus Langgur pada Kamis pagi yang tenang itu.

Johanes tampil santai pagi itu. Mengenakan kaus tim sepak bola kesayangannya, Juventus, dan celana pendek selutut. ”Di luar, saya romo. Tapi, di hadapan keluarga, saya ini anak,” tutur pria yang sebagian waktu studinya dihabiskan di Manado dan Karanganyar tersebut.

Kepulauan Kei secara administratif terbagi ke dalam Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara yang beribu kota di Langgur. Tual dulu ibu kota Maluku Tenggara sebelum pemekaran menjadi kota pada 2010.

Sebuah hasil penelitian menyebutkan, agama-agama samawi mulai masuk Kepulauan Kei pada abad ke-16. Islam yang kali pertama masuk. Tapi, sempat terputus dan masyarakat setempat kembali ke kepercayaan lama.

Setelah itu belum bisa dipastikan perkembangan masing-masing agama. Sebab, bukti tertulis sangat minim. Masyarakat Kei lebih mengandalkan bahasa lisan.

Yang pasti, ketika konflik sektarian meletus di Ambon pada 1999, Kei memang sempat ikut terdampak. Tapi, mengutip Wikipedia, dengan cepat dapat dipadamkan dan tak banyak menelan korban.

Menurut Johanes, sebelum agama-agama Samawi datang ke Kei, warga setempat sudah dikenal rukun. Kerukunan itulah yang terpelihara sampai sekarang. ”Kami berasal dari satu indung telur dan di tubuh ini mengalir darah yang sama,” ujar anak kedua di antara empat bersaudara tersebut.

Tinggalkan Balasan