Berharap Pemerintah Tak Menutup Mata

[tie_list type=”minus”]Raam Punjabi Bicara tentang Industri Kreatif[/tie_list]

[dropcap]J[/dropcap]ika dibandingkan dengan negara lain di zona ASEAN, industri kreatif kita bisa diadu. Apabila ada dukungan nyata dari regulator, bukan tidak mungkin industri kreatif Indonesia menjadi roda baru penggerak ekonomi.

MODAL kreativitas yang dimiliki pekerja seni tanah air membuat industri kreatif, khususnya pertelevisian dan perfilman, Indonesia bakal berkibar pada masa mendatang. Raam Jethmal Punjabi amat optimistis industri yang dia geluti sejak 1960 itu bisa menggurita dan kian terpandang di zona ASEAN.

Pendiri Multivision, rumah produksi paling produktif, tersebut menyatakan, pelaku industri kreatif Indonesia tinggal membenahi persoalan promosi dan pemasaran. ”Dari segi kualitas, kita di atas Malaysia. Meskipun masih kalah oleh Thailand,” kata pria asal Surabaya itu kepada Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) saat ditemui di ruang kerjanya di MVP Tower, Kuningan, Jakarta.

Raam bercerita, Malaysia memiliki fasilitas pendukung sehingga film-film produksi dalam negeri mampu menjangkau pelosok daerah. Vietnam dan Kamboja yang dari sisi kualitas film masih kalah jauh, kata dia, tidak menghadapi kendala peredaran seperti di Indonesia.

Di Indonesia, lanjut Raam, film hanya bisa dinikmati orang-orang perkotaan. Maklum saja, jumlah bioskop di Indonesia masih jauh dari ideal. Jumlah bioskop di Indonesia hanya sekitar seribu. Angka yang amat sedikit jika dibandingkan dengan penduduk yang mencapai hampir 250 juta jiwa.

Idealnya, Indonesia punya sekitar 5.000–6.000 gedung bioskop. Pria 72 tahun tersebut mengatakan, pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan sudah menginstruksi langsung menteri untuk menambah jumlah gedung bioskop. ”Katanya, kalau dalam setahun tidak ada kemajuan, laporkan. Tapi, sampai sekarang tidak ada hasilnya,” ucap dia.

Raam mengkritik gedung bioskop yang hingga kini masih didominasi kelompok usaha tertentu saja. Itu dinilai Raam menghambat distribusi film-film ke daerah. Akibatnya, perkembangan industri film nasional bisa tersendat.

Munculnya praktik oligopoli tersebut merupakan dampak kebijakan daftar negatif investasi yang diterapkan pemerintah selama ini. Pemerintah menilai produser dan pengusaha film nasional harus diproteksi dari serbuan asing. Melalui kebijakan itu, pemerintah melarang pihak asing membangun gedung bioskop dan memproduksi film di Indonesia. Namun, tujuan proteksi tersebut tidak tepat sasaran. Sebab, bioskop malah dikuasai pemain lama.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan