Sukses Pilkada Tergantung Jokowi

JAKARTA – Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Profesor Siti Zuhro mengatakan penanggung jawab akhir dari pilkada serentak adalah Presiden Joko Widodo. Sebagai presiden, menurut Siti, Jokowi tidak bisa melepas tanggung jawabnya kepada siapa pun karena ini konsekuensi dari sistem presidensial.

Profesor Siti Zuhro Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Profesor Siti Zuhro
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI)

’’Itu perintah konstitusi karena Indonesia menganut sistem presidensial,” kata Siti Zuhro, saat berbicara dalam Dialog MPR bertajuk ’’Etika Politik Pemilukada” bersama anggota DPD RI, Muh Asri Anas, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, kemarin (7/9).
Seharusnya, menurut Siti, sebelum penetapan pelaksanaan pilkada serentak gelombang pertama pada 9 Desember 2015 mendatang, pemerintah mengukur korelasi pilkada yang selama ini sudah dilangsungkan terhadap percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
’’Sudah ada 1.000 lebih pemilkada di Indonesia. Mestinya pemerintah mengukur apa ada korelasi pilkada dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” katanya.
Menurut Siti, mengukur pilkada dalam konteks pembangunan dan kesejahteraan rakyat, sangat penting agar demokrasi ini mendatangkan manfaat bagi banyak orang.
’’Tapi apa boleh buat, itu belum dilakukan, dan 9 Desember mendatang rakyat sudah harus dihadapkan dengan pilkada serentak di 269 daerah. Ibaratnya nasi sudah jadi bubur dan harus tetap dimakan,” ungkapnya.
Sebetulnya, ujar Siti yang akrab disapa Wiwik ini, sebelum pilkada serentak dilakukan, harus ada pra-kondisi terhadap pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan pilkada. Misalnya, kata dia, partai politik, apa betul-betul sudah dalam kondisi siap ikut pilkada dan KPU juga sudah dalam kondisi siap menyelenggarakan pilkada.
Selain itu, lanjutnya, apa ada jaminan nantinya tidak akan terjadi pelanggaran etika atau UU pilkada oleh kontestasi, partai politik dan penyelenggara pilkada. ’’Siapa yang jamin tidak ada rusuh serentak, ribut serentak di balik pilkada serentak,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wiwik menilai pilkada serentak pada 9 Desember mendatang betul-betul tidak kompak. Dasar hukum pilkada juga gonjang-ganjing, partai-partai belum solid.
’’Ini yang mestinya diselesaikan dulu. Karena tidak ada prakondisi pilkada, dan jika nanti terjadi kekisruhan masal dan negara ini kembali ke zaman otoriter, itu sah saja kalau keputusan tersebut dinilai datang dari presiden,” tegas Siti. (fas/jpnn)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan