Rupiah Dalam Ancaman Serius

INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan. Indeks melonjak di tengah apresiasi bursa global dan regional Asia. Tercatat Indeks telah mengaspal jalur hijau dalam tempo tiga hari perdagangan. Penguatan itu sekaligus membawa Indeks pada trek lurus menuju level psikologis 4.500.

Apresiasi Indeks ditopang lonjakan indeks Nikkei 225 Jepang 2,61 persen, indeks Kospi Korsel 1,88 persen, dan indeks Hang Seng Hong Kong 2,01 persen. Dow Jones Industrial (DJI) terangkat 0,90 persen, DAX Jerman 0,40 persen, FTSE 100 Inggris 0,79 persen dan CAC Perancis 0,06 persen. Di samping itu, gerak positif Indeks juga disokong aliran dana asing masuk (capital inflow) senilai Rp 302 miliar.

Sayangnya, gerakan impresif Indeks itu tidak menjalar ke pasar valas. Di pasar uang itu, nilai tukar rupiah justru minus 24 poin (0,17 persen) ke Rp 14.070 per dolar Amerika Serikat (USD). Rupiah merujuk data Mandiri Sekuritas (Mansek), diperjualbelikan di kisaran Rp 14.023 per USD hingga Rp 14.098 per USD. Berdasar tabulasi kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah ditransaksikan di level Rp 14.050 per USD.

Rupiah loyo mungkin tidak bisa dibilang anomali. Bahkan bisa disebut lazim mengingat perhatian pemodal tertuju pada babak akhir sidang forum open market committee (FOMC). Nantinya, hasil sidang para dedengkot Federal Reserve (The Fed) itu akan mengubah peta market. Kalau opsi yang dimunculkan kenaikan suku bunga acuan (fund fed rate/FFR), kekacauan di pasar financial sudah bisa ditebak. Tetapi, efek kejut itu hanya bersifat sementara.

Mengapa? Itu tidak lain kenaikan suku bunga acuan tersebut sudah masuk dalam kalkulasi pasar. Di mana, pelaku pasar telah menyiapkan antisifasi terhadap beragam gejolak yang mungkin ditimbulkan. Ringkasnya, investor menunggu ketok palu sidang The Fed akan kenaikan suku bunga. ”Rupiah sempat rebound sebagai respon atas lonjakan harga minyak. Tetapi, mana kala harga minyak tetap fluktuatif, rupiah kembali terkulai,” beber analis Pefindo Guntur Tri Haryanto.

Sehubungan dengan rencana The Fed sambung Guntur, risiko rupiah untuk kembali terpental sangat terbuka. Terlebih menjelang akhir tahun, kebutuhan USD untuk transaksi bisnis cenderung meningkat. Di sisi lain, data ekonomi domestik belum banyak memamirkan sinyal positif. ”Sentimen market global masih sangat memengaruhi laju rupiah,” ucapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan