Partisipasi Pemilih di Kota Rendah

Pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, minimnya partisipasi masyarakat perkotaan di pilkada serentak 9 Desember lalu memang sebuah paradoks. “Paradoksnya, semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, justru semakin rendah partisipasi mencoblosnya,” katanya kemarin.

Sebaliknya, menurut Refly, tingkat partisipasi di pedesaan tinggi karena masyarakatnya menyambut pemilu sebagai pesta akbar. Pemilu masih direspons dengan begitu antusias. Selain itu, sifat komunal masyarakat pedesaan ikut mendorong berbondong-bondongnya orang mencoblos di TPS.

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, tingkat partisipasi masyarakat perkotaan yang rendah dalam pilkada memang pemandangan lama. “Semakin paham politik, semakin banyak nanya. Semakin kritis,” jelas dia. Ujung-ujungnya, ada perasaan tidak cocok dengan seluruh calon sehingga akhirnya memilih tinggal di rumah atau berlibur bersama keluarga.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby menambahkan, KPU perlu mengevaluasi sejumlah kebijakan terkait dengan rendahnya angka partisipasi publik dalam pilkada. Salah satunya ada­lah kebijakan pencetakan dan pemasangan alat peraga kampanye (spanduk, baliho, dan sejenisnya) yang dilakukan sendiri oleh KPU.

“Kami melihat, hal itu mengurangi euforia pilkada sekarang ini,” ujarnya. Dia mencontohkan kebijakan satu desa satu alat peraga. Padahal, wilayah desa cukup luas. Akhirnya, sosialisasi pilkada dan para kontestannya tidak terbaca oleh masyarakat. (gun/wan/byu/bil/wan/c11/kim)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan