Partisipasi Pemilih di Kota Rendah

Faktor ketiga adalah keadaan. Misalnya, tutur Arief, ada satu keluarga yang hendak berangkat ke TPS, tapi tiba-tiba salah seorang anggota keluarga mengalami kondisi darurat. Akibatnya, mereka urung berangkat ke TPS. “Kalau kondisi darurat itu terjadi sampai pukul 13.00, pasti mereka golput,” lanjut dia. Bisa juga sebagian pemilih bekerja jauh di luar daerahnya sehingga tidak mungkin pulang untuk mencoblos.

Dengan demikian, menurut Arief, KPU tidak bisa sepenuhnya disalahkan apabila partisipasi pemilih minim. ”Kami kan tidak mungkin menanyai satu per satu alasan pemilih, kok Anda tidak menggunakan hak pilih,” tutur mantan anggota KPU Jatim itu.

Dia menambahkan, KPU masih menunggu rekapitulasi total dari seluruh daerah untuk bisa melihat tingkat partisipasi pemilih. Apabila memang berada di bawah target, tentu hasil itu menjadi bahan evaluasi, khususnya untuk pelaksanaan pilkada 2017 dan 2018. Sebagai gambaran, pada pilkada 2010 di 244 daerah, partisipasi pemilih rata-rata 60 persen.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang D.H. menilai, ada gejala umum yang terkait dengan partisipasi pemilih beberapa waktu terakhir. Khususnya di daerah yang memiliki calon petahana. Ketika pemilih menghendaki seorang pemimpin kembali memimpin, ada kecenderungan partisipasi pemilih rendah.

Sebaliknya, ketika masyarakat tidak lagi menginginkan si pemimpin kembali memimpin, mereka akan datang ke TPS untuk menghadang. ”Bisa jadi partisipasi pemilih yang minim itu karena trust. Ah, sudah bagus, itu gejala umumnya,” terangnya. Kalau yang terjadi sebaliknya, pemilih akan berbondong-bondong ke TPS untuk memilih calon lain agar kepemimpinan berganti.

Sementara itu, Sekretaris Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan bahwa apatisme masyarakat urban bukan satu-satunya faktor yang terkait dengan rendahnya keikutsertaan pemilik suara di kota-kota besar. Menurut dia, pelaksanaan pilkada serentak tahun ini punya nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Salah satunya kurangnya kesempatan sosialisasi dari panitia pemilu dan kandidat kepala daerah.

“Prosesnya seperti hanya kewajiban untuk memilih pimpinan daerah. Padahal, seharusnya pilkada ini adalah pesta demokrasi yang menjadi hak bagi rakyat di setiap daerah. Itu terlihat dari kurangnya sosialisasi dan alat-alat peraga sebelum pemilihan. Jadi kurang ramai dan antusiasme masyarakat kota gampang menurun,” ungkapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan