Ke Mana setelah Lulus?

Biaya menjadi alasan utama mereka yang tak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. ”Tuntutan orang tua yang meminta anaknya bisa segera membantu perekonomian keluarga juga menjadi faktor pendukung,” kata mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta tersebut.

Mereka yang tak kuliah memiliki pilihan utama bekerja. Namun, hal itu pun tak mudah. Lulusan SMA selama ini dianggap tidak memiliki keterampilan lebih dibanding lulusan SMK. Data di Kemendikbud menunjukkan, serapan kerja lulusan SMK sebesar 85 persen (dari total 1.170.748 jumlah lulusan SMK pada 2014). Sementara untuk lulusan SMA, angkanya jauh di bawah itu. ”Makanya, kita rekomendasikan bagi yang tidak ingin meneruskan bisa memilih SMK. Jangan terpicu anggapan SMA lebih keren,” tuturnya.

Melihat fenomena tersebut, Anies berencana mempersiapkan program agar lulusan SMA bisa bersaing dalam dunia kerja, sama seperti jebolan SMK. Bentuknya adalah pemberian program tambahan keterampilan kepada siswa SMA setelah mereka merampungkan ujian nasional (unas).

Para siswa SMA yang tidak berencana meneruskan studi ke jenjang kuliah akan ditawari program keterampilan yang tersedia. Selanjutnya, mereka dididik selama beberapa bulan hingga masa sekolah rampung. Anies merancang program unas tahun depan bisa diselenggarakan lebih awal, tidak di pengujung tahun pelajaran. ”Nah, setelah mengikuti unas, siswa harus mendapat pembekalan tambahan itu. Kalau tahun ini kan hanya difokuskan untuk unas. Tahun depan kita akan lebih perhatian mau ke mana setelahnya,” papar Anies.

Program Mendikbud tersebut sejalan dengan analisis ekonom senior Bank Dunia Vivi Alatas. Menurut Vivi, lahan pekerjaan bagi lulusan SMA sederajat semakin sempit dengan adanya fenomena tenaga kerja terdidik justru mengambil lahan pekerjaan kelompok tidak terampil. Indikasi itu muncul dari data BPS yang mencatat lulusan pendidikan tinggi baru 5 persen dari total angkatan kerja. ”Alhasil, mayoritas pasar buruh diisi alumnus pendidikan dasar dan menengah,” ungkapnya.

Masalahnya, lanjut Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses informasi soal lapangan pekerjaan. Akhirnya banyak lulusan SMA yang bersedia melakoni pekerjaan yang seharusnya diperuntukkan bagi lulusan SD dan SMP. ”Sekitar 20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen semiskilled,” kata Vivi. Fenomena tersebut imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil jatah lulusan SMA.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan