Harus Ada Audit BPK untuk Penyidikan Korupsi

[tie_list type=”minus”]Pendapat Ahli dalam Sidang Praperadilan Gardu Induk[/tie_list]

JAKARTA – Adu argumentasi hukum antara saksi ahli dan jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terjadi dalam sidang lanjutan praperadilan yang dimohonkan pihak Dahlan Iskan kemarin (30/7). Salah satu yang diperdebatkan adalah lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara.

SIDANG PRA PERADILAN DAHLAN
EDI ISMAIL/JAWA POS

PANDANGAN: Saksi ahli sekaligus pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Muzakir.

Ahli hukum yang dihadirkan kuasa hukum Dahlan berpandangan, lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, jika tidak disertai bukti kerugian negara dari BPK, unsur korupsi dalam penyidikan belum terpenuhi.

Salah seorang ahli hukum pidana yang menyatakan demikian adalah Muzakir. Dia menuturkan, penyidikan kasus korupsi harus dilengkapi audit investigasi yang pro-justitia yang hanya bisa dilakukan BPK. ’’Jadi, yang diperlukan adalah audit investigasi BPK secara menyeluruh. Bukan sekadar menghitung apa yang ditemukan penyidik,’’ jelasnya.

Bukan hanya Muzakir, ahli hukum lain dihadirkan kuasa hukum Dahlan. Yakni, Made Darma Weda dan Chairul Huda. Keduanya menyatakan hal yang sama. Mereka menegaskan, satu-satunya lembaga negara yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK. ’’Kalau sekadar menghitung, tiap orang mungkin bisa. Tapi, apakah dia punya kompetensi?’’ ujar Chairul.

Mengenai kewenangan menghitung kerugian negara, jaksa berpedoman bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berwenang melakukannya. Jaksa menggunakan dalil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 31/PUU-X/2012. Putusan itu merupakan penolakan MK terhadap judicial review mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho yang terjerat kasus korupsi yang diusut KPK.

Dalam putusan itu, MK menyatakan, KPK tidak hanya bisa berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam membuktikan tindak pidana korupsi. Namun, lembaga antirasuah tersebut juga bisa berkoordinasi dengan instansi lain.

 Terkait dengan hal itu, Muzakir berpendapat, sampai saat ini UU BPKP tidak menyebutkan bahwa lembaga itu berwenang melakukan audit investigasi terhadap kerugian negara.

Penggunaan putusan MK sebenarnya menunjukkan inkonsistensi jaksa. Sebab, sebelumnya jaksa mengabaikan putusan MK No 21/PUU-XII/2014 tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Jaksa menilai putusan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena melampaui putusan MK.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan